KH. Ma’mun Mukhtar atau Yi Mun lahir di Kajen pada tanggal 1 Juni 1945 dari pasangan KH. Mukhtar Afif dan Nyai Thohiroh, Yi Mun merupakan anak kedelapan dari 9 bersaudara. Kesembilan anak itu ialah Ibu Khofsoh, Ibu Asma’ Hambali (Pati), Kiai Mahfudh (Sarang), Kiai Abdul Barri, Ibu Sholihah (Kajen), K.H. Ma’mun Mukhtar (Kajen), Ibu Mu’anah.
Masa kecil Yi Mun sedikit berbeda dengan masa kecil anak-anak pada umumnya. Pada masa itu ayah beliau termasuk salah satu Kiai Kajen yang diperhitungkan para penjajah dapat merusak stabilitas pemerintahan Hindia Belanda. Maka tak heran jika terkadang beliau harus ikut serta bersembunyi bersama keluarganya dari kejaran para penjajah. Namun terlepas dari ketegangan masa kecil, Yi Mun kecil tetaplah seorang bocah yang suka bermain bersama teman sebaya. Biasanya beliau suka main di sungai untuk berenang ataupun menjala ikan. Selain itu beliau sangat gemar dengan sepak bola, sampai-sampai beliau rela memanjangkan rambutnya demi mengikuti persepsi beliau bahwa pemain sepak bola itu rambutnya gondrong. Kebiasaan menonton bola ini terus berlangsung hingga usia tua. Meski begitu, Yi Mun tidak pernah mengidolakan satu klub bola tertentu karena bagi beliau yang mengasyikkan itu menonton pertandingan bola bukan siapa atau klub apa pemainnya.
K.H Ma’mun Mukhtar mengenyam seluruh pendidikan formal di PIM (Perguruan Islam Mathali’ul Falah). Selain itu Yi Mun juga belajar secara tidak formal kepada masyayikh Kajen seperti Kiai Thohir Nawawi (ayah dari KH. Mu’adz Thohir), Kiai Muhammadun Abdul Hadi (pendiri Pondok APIK) dan Kiai Mawardi Waturoyo (pengasuh Pesantren Bustanul Tholibin). Yi Mun juga mengaji fikih secara eksklusif setiap malam selasa kepada Kiai Sahal Mahfudh. Dan untuk belajar al-qur’an, Yi Mun belajar langsung dari ayahanda beliau, KH. Mukhtar Afif.
Yi Mun lulus dari Perguruan Islam Mathali’ul Falah pada saat beliau berumur 17 tahun. Meski begitu, beliau sudah mulai mengajar di tempat mengajar al-qur’an (kelak menjadi Pondok Buludana) peninggalan ayahnya sejak umur 14 tahun. Tepatnya setelah sang ayah meninggal dunia pada tahun 1954. Sejak saat itu, kepengasuhan Pesantren Mabda’ul Huda (Buludana) secara otomatis jatuh ke tangan Yi Mun karena seluruh saudara laki-lakinya telah bekeluarga dan bermukim diluar Kajen. Praktis dengan tanggung jawab barunya ini pendidikan Yi Mun pun “hanya” menimba ilmu di tanah kelahirannya sendiri yaitu Kajen.
Pada tanggal 16 Pebruari 1976 Yi Mun akhirnya menemukan belahan jiwanya, yakni Nyai Hj. Musri’ah yang masih terhitung kerabat sendiri dari pihak ayah. Dari pernikahan tersebut, Mbah Mun dikaruniai 1 orang putra dan 9 orang putri, yaitu:
Alfi Inayatin
Istiqomatus Sa’diyah
Nuzhatin Fu’adiyah
Ainul ‘Athiyyah
Durrohtun Muhassonah
Nihayatul Muhtaj
M. Faiddlurrahman
Nur Laili Fadhilah
Faiqoh Noor Fu’adi
Atiqoh (meninggal ketika lahir)
Yi Mun meninggal pada tanggal 20 Ramadhan 1434 H/ 28 Juli 2013 M. Sebelumnya pada tanggal 14 Ramadhan 1434 H/ 21 Juli 2013 M. Yi Mun dilarikan ke Rumah Sakit Islam Pati karena tiba-tiba kesehatannya menurun drastis. Namun kemudian dirujuk ke Rumah Sakit KSH Pati, sehari kemudian Yi Mun dipindah lagi ke sebuah Rumah Sakit spesialis syaraf di Demak hingga akhirnya wafat di tempat tersebut. Semoga Yi Mun mendapatkan tempat terbaik di sisiNya.
Sumber: Nuansa Pati
Tags:
Hikayat