Pesantren adalah suatu bentuk pendidikan ke-Islaman klasik-tradisional yang masih memegang teguh dalam mendalami dan memahami ajaran intelektualitas Islam sejak zaman nabi hingga masa kejayaan Imam empat: Syafi’i, Maliki, Hanafi dan hambali. Secara etimologis pesantren terdiri dari kata asal “santri” yang mendapat awalan “pe” dan akhiran “an” menjadi “pesantren” yang menunjukkan sebuah tempat, dimana para santri mempelajari dan mendalami ilmu-ilmu agama Islam dan kehidupan. Pesantren terdiri dari minimal; pondok/kamar/asrama berbentuk bangunan sederhana, Mushola atau masjid sebagai tempat untuk pengajian atau pengajaran, rumah seorang kiai yang secara total dan penuh selalu memperhatikan perkembangan para santri dalam menuntut ilmu dan tentunya santri serta tradisi kehidupannya yang unik dan khas.
Dalam pesantren ada sebuah sistem yang rigid dan baku, semuanya saling terkait yang mengental menjadi sebuah tradisi yang dimiliki oleh santri dan menjelma dalam karakter pribadinya, sehingga seringkali santri mendapat “stigma” atau julukan yang khas dan menarik, baik itu menyangkut cara hidup, pola pikir dan perilakunya. Berbeda dengan sebuah lembaga yang meng-asramakan peserta didiknya, pesantren tidak hanya menjadi sebuah tempat tidur atau istirahat saja, lebih dari itu dengan sistem dan metodenya dalam pesantren terjadi sebuah proses pendidikan yang khas dan unik di dalam membentuk sebuah karakter peserta didiknya melalui internalisasi keilmuan dalam perilaku sehari-hari yang dikontrol dan diawasi selama 24 jam melalui berbagai aktifitas dan program kegiatan pendidikannya.
Dalam banyak hal pesantren sebagai sebuah lembaga pendidikan sekaligus sosial kemasyarakatan menjadi suatu wilayah yang sangat menarik untuk dikaji terutama peranan dan kemampuannya dalam melakukan proses transformasi pengetahuan, serta menjaga akar historositas pendidikan yang dikembangkannya. Terbukti bahwa sampai saat ini pesantren tetap survive terhadap terpaan badai kapitalisme global dengan segala kompleksitas nilai dan budaya yang turut serta di dalamnya, bahkan pesantren mampu menjadi counter of cultur dan alternatif value ditengah arus pergerakan sosial yang terus berkembang dengan nilai dan budayanya yang khas dan indegeneous.
Pesantren memiliki daya saing dan tawar yang cukup tinggi dalam kancah pertempuran nilai dan budaya di dalam kehidupan masyarakat tersebut. Melalui konsep dan teori yang dimilikinya, al-mukhafadzatu ala al-khodimi al-sholih wa al-akhdzu bi al-jadidi al-aslah, yaitu dengan mempertahankan setiap niali lama yang masih relevan dan baik serta mengganti dengan sesuatu yang baru yang bermanfaat dan mendatangkan kemaslahatan, pesantren dengan alamiah dan bijak melakukan proses perubahannya sendiri. Konsep ini diambil dan dilaksanakan pesantren dengan metode spiral, berputar dan berproses dengan pelan namun pasti menuju sebuah perubahan yang lebih baik dengan mempertimbangkan segala aspek yang melingkupinya baik yang bernilai duniawiyah maupun ukhrowiyah. Sebagaimana yang pernah ditulis sindhunata dalam bukunya “Dilema Manusia Rasional”, tentang pendapat Horkheimer bahwa ada dua teori yang bersifat emansipatoris yaitu teori tradisional dan kritis. Dalam hal ini pesantren dengan segala aspek dan cirinya yang khas dapat dikategorikan sebagai sebuah lembaga yang mempunyai sifat emansipatoris yaitu masuk dalam teori pertama dengan tradisi yang dimilikinya.
Metode tersebut sengaja diambil untuk menandingi dan menolak konsep yang ditawarkan oleh barat dengan modernisme dan globalisasinya yang cenderung linier, berjalan lurus tanpa banyak mempertimbangkan berbagai faktor yang melingkupinya, sehingga dapat dilihat bahwa proses modernisasi dengan berbagai kelebihannya telah dengan sengaja menyisakan banyak faktor negatif seperti sekulerisme dan budaya hedonisme yang cenderung melupakan Tuhan dan perilaku amoral serta kerancuan sosial.
Pesantren sebagai basis pengkaderan umat Islam tetap memiliki daya tarik tersendiri karena ia masih tetap konsisten dengan tugas dan fungsinya menyadarkan masyarakat secara terus-menerus dalam rangka amal ma’ruf nahi munkar untuk menyelamatkan umat manusia dari kealpaan akan eksistensi dan tujuan hidupnya sehingga akan terhindar dari kesesatan dunia dan siksaan akhirat. Lebih dari itu pesantren terus melakukan pembenahan dan membuka diri untuk mengkaji teks-teks klasik serta juga senantiasa membaca tanda-tanda zaman mutakhir yang semakin menggila dan cenderung menenggelamkan kesadaran kritis masyarakat.
Mengapa pesantren demikian terlihat kuat dan setia pada garis perjuangan dan keyakinannya serta mempertahankan identitas budaya ke-Islamannya, karena pesantren secara utuh dan sadar masih tetap mendalami dan menyerap warisan budaya klasik yang pernah membentuk peradaban dunia yang sangat canggih. Di bidang perkembangan pemikiran dan intelektual misalnya, Ibnu Sina dengan ilmu kedokterannya yang masyur dan telah dikonsumsi oleh barat merupakan cermin bahwa Islam sebenarnya menjadi entitas dan sumber pengetahuan serta budaya yang tidak akan pernah kering, banyak sekali bukti bahwa kemajuan barat saat ini tidak terlepas dari sumbangan pemikiran dan ide besar para pemikir Islam saat itu.
Sosialisme telah hancur sementara saat ini kapitalisme dengan teori besarnya tentang liberalisme dan globalisasi dicaci dan dimaki karena memang banyak melahirkan persoalan baru di berbagai lini kehidupan, mulai dari sosial-politik, ekonomi dan yang paling parah persoalan moral-etis. Masyarakat dunia saat ini seakan gamang dan tidak mampu mengendalikan kehidupannya sendiri, sehingga nalar kehidupan yang mestinya dapat dikontrol dan diselaraskan dengan kepentingan dan kebutuhan manusia demi kemaslahatan dan kebahagiaan seakan sirna seiring gencarnya arus kapitalisme yang semakin menggila. Keamanan dan perdamaian dunia terus terancam dengan manuver dan kinerja yang dilakukan para agen kapitalis, negara dunia ketiga semakin terpuruk dan sulit untuk bangkit, baik itu disebabkan oleh kelemahannya sendiri maupun sengaja dibuat lemah agar mudah dikendalikan dan diarahkan demi kepentingan mereka.
Pesantren dengan segenap tradisinya yang mendasarkan pada nilai-nilai yang digagas oleh Islam memiliki kemampuan “survival” dan itu telah terbukti hingga saat ini, pesantren dalam sejarah keberadaannya dalam proses ada dan meng”ada”nya selalu menempatkan kesadaran ktitis dan emansipatoris didalam melaksanakan tujuan hidup dan kehidupan disekitar dirinya. Kalau dilihat dari kacamata nasional, pesantren adalah salah satu aset bangsa Indonesia yang indegeneous dan bersifat lokal yang kalau dilihat dalam waktu kedepan dengan berbagai aset dan ciri yang selama ini dimilikinya mempunyai potensi yang cukup besar untuk ikut serta didalam proses “kebangkitan” bangsa yang saat ini sedang terpuruk.
Secara ekonomi pesantren merupakan lembaga yang mandiri dan mampu mebiayai dirinya sendiri tanpa menggantungkan proses pembangunan yang selama ini berlangsung, bahkan dalam kasus dan tahap tertentu pesantren mampu ikut serta berkiprah didalam pembangunan masyarakat melalui berbagai program dan konsen yang dimilikinya. Dalam bidang politik dan sosial, tidak mungkin bisa dipungkiri oleh semua pihak bahwa pesantren ikut serta dalam proses berdirinya bangsa ini, bahkan dalam setiap fase yang dilalui oleh bangsa ini pesantren selalu ikut andil dalam perjuangannya, baik secara fisik maupun pemikiran.
Dengan demikian dapat difahami bahwa pesantren sebenarnya memilki konsen terhadap keberlangsungan keilmuan dengan memperhatikan dan memahami masa lalu untuk kehidupan masa kini dan mendatang dengan semangat perennialisnya sebagai agama yang rahmatan lil al-alamin, yang diamalkan secara utuh, universal dan inklusif. Kematangan sebuah peradaban juga pengetahuan terlihat pada seberapa jauh kesadarannya akan akar-akar warisan klasik yang ia miliki. Makin dalam kesadaran akan hal itu maka semakin dalam pula ketangguhan dan kematangannya.
Intelektualitas dan nalar pesantren terbentuk dengan berbagai nilai budaya dan ciri khasnya, pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam tidak dengan sendirinya dan serta merta terbentuk begitu saja. Ia memiliki jaringan intelektual atau sanad serta silsilah yang sangat panjang mulai kepada orang nomor satu dalam dunia Islam di Nusantara ( walisongo ) bahkan hingga kepada Muhammad sang Nabi akhirul al-zaman. Hal itu tentu erat kaitannya dengan penyebaran Islam pertama di jawa sekaligus penjagaan pelestariannya sebagaimana pernah disampaikan oleh Zamakhsyari Dhofier bahwa pesantren secara alamiah telah melakukan berbagai usaha untuk melestarikan keberlangsungan hidupnya dengan melakukan berbagai upaya diantaranya, mengembangkan suatu jaringan aliansi perkawinan endogamous antara keluarga kiai danmengembangkan tradisi transmisi pengetahuan dan rantai transmisi intelektual antara sesama kiai dan keluarganya.
Demikian juga keberlangsungan dan perkembangan pesantren yang ada di desa kajen tidak terlepas dari usaha tersebut, hal ini dilakukan dalam rangka pelestarian dan strategi penjagaan terhadap masa depan dan eksistensi pesantren itu sendiri, terbukti dengan perkembangan pesantren yang terjadi di desa Kajen masih berputar pada garis kekerabatan dari satu sanad keturunan. Mbah Mutamakkin sebagai penyebar Islam di wilayah ini sekaligus perintis berdirinya berbagai pesantren yang ada sejak awal telah melakukan kerja-kerja tersebut.
Jalinan dan jaringan kekeluargaan yang dibanguan pesantren melalui perkawinan merupakan usaha sadar dan sitematis untuk meneruskan garis perjuangan dalam Islam, seperti yang dulu pernah dilakukan oleh para bangsawan kerajaan guna melanggengkan keturunan dan kekuasaannya, bedanya kalau usaha yang dilakukan pesantren saat ini dalam rangka menjaga kelestarian dan keberlangsungan pesantren dalam wilayah tradisi dan warisan intelektual-keilmuan sementara para bangsawan dulu dalam kerangka politis dan mempertahankan jaring kekuasaannya. Dalam proses evolusi usaha yang dilakukan oleh keduanya merupakan sebuah langkah yang rasional dan bisa dinggap wajar, karena bagaimanapun juga salah satu tujuan dari hidup ini adalah bertahan untuk tetap eksis, apalagi jika semua itu berdiri diatas niatan suci memperjuangkan nilai-nilai agama yang diyakini kebenarannya.
Menyoal sejarah perkembangan pesantren kajen tidak mungkin melepaskan dari sejarah kehidupan Mbah Mutamakkin, sebagai penyeru dan penganjur Islam pertama di wilayah tersebut. Pada mulanya melalui perjuangan dan gerakan sosial yang beliau lakukan akhirnya mulai dilakukanlah kerja-kerja intelektual, sebagaimana yang dulu juga pernah dilakukan oleh nabi besar Muhammad S.A.W ketika pertama kali meperkenalkan ajaran Islam sebagai nilai baru di masyarakat, begitupun Mbah Mutamakkin dengan mengajar orang-orang terdekatnya, diantara murid beliau yang terkenal dan mampu memberikan pencerahan dan ikut serta melakukan perubahan sosial di daerahnya kebanyakan masih kerabat dekat beliau yaitu: R. Ronggo Kusumo keponakan beliau dari K. Ageng Mruwut, di daerah Ngemplak desa sebelah barat daya desa Kajen R. Ronggo Kusumo dianggap sebagai seorang wali dan pahlawan bagi masyarakatnya, beliau dikenal sebagai bangsawan dan ulama’ yang mencintai dan memperjuangkan nasib rakyat kecil, dalam setiap dakwah yang dilakukan dalam rangka penyebaran Islam saat itu beliau selalu menggunakan pendekatan dan strategi peningkatan ekonomi kerakyatan sehingga masyarakat sangat respek terhadap ajaran yang beliau sampaikan. Konon pada saat itu beliau secara dor to dor mengetuk hati para agniya’ ( orang kaya ) untuk mengeluarkan sebagaian hartanya guna diberikan kepada yang berhak, para fakir miskin. Dengan type perjuangan yang beliau lakukan lambat laun banyak diantara para agniya’ tersebut yang dengan sadar dan sukarela mendermakan sebagian harta miliknya. Sekarang dapat disaksikan secara ekonomi masyarakat ngemplak tergolong lebih dari cukup dengan pabrik tapiokanya.
Murid Mbah Mutamakkin yang juga menjadi pioner dan perintis Islam didaerahnya adalah K. Mizan, beliau adalah keponakan Mbah Mutamakkin dari saudaranya yang bernama K.H. Abdullah yang berdomisili di Ngampel-Blora, nama Mizan diambil dari istilah timbangan karena beliau termasuk salah satu murid yang cerdas dan mampu memberikan imbangan kepada mbah Mutamakkin, hingga pada suatu ketika beliau diuji untuk mengambil air menggunakan keranjang, namun ajaibnya tak setetespun air yang tumpah melalui lubang anyamannya, akhirnya karena dipandang sudah mampu dan saatnya untuk ditugaskan maka K. Mizan diperintahkan untuk merintis perjuangan didaerah sebelah utara desa kajen yang sekarang terkenal dengan sebutan margotuhu ( karena ketaatan ) yang diambil dari peristiwa tersebut karena beliau sangat ta’dzim dan tanpa banyak protes melaksanakan perintah mbah Mutamakkin.
Pada masa ini bentuk pesantren belum terlihat jelas dan sistematis seperti sekarang ini, pengajian dan pengajaran Islam masih dilakukan di masjid dengan sangat sederhana, baru pada sekitar abad XIX, generasi ketiga Mbah mutamakkin yaitu seorang murid terpandainya yang diambil menantu beliau bernama K. Ismail mendirikan pesantren yang diyakini sebagai pesantren pertama di Kajen tepatnya di daerah selatan Masjid Kajen yang pada saat itu lebih dikenal dengan nama pondok pesantren tengah ( sekarang bernama Pesantren Raudlatul ‘Ulum ). pemberian nama saat itu diukur dari keberadaannya karena memang berada ditengah-tengah desa kajen, dan untuk selanjutnya makam kanjengan ( Mbah Mutamakkin ) dijadikan barometer dengan melihat tembok ( banon ) makam kanjengan.
Setelah itu di kajen mulai bermunculan berbagai pesantren dengan melakukan perbaikan dan penyempurnaan, seperti yang dilakukan oleh salah satu cucu Mbah Mutamakkin yang bernama K.H. Nawawi putra K.H Abdullah dengan memprakarsai berdirinya pondok kulon banon ( berada di arah barat tembok makam kanjengan) yang sekarang telah berkembang pesat dengan nama TPII ( taman pendidikan Islam Indonesia ). Setelah itu sekitar dua taun berselang di daerah wetan banon berdiri sebuah pesantren yang diprakarsai oleh KH. Siroj putra K.H Ishaq yang kemudian hari terkenal dengan sebutan salafiyah.
Pendirian pesantren oleh keturunan Mbah Mutamakkin baru disusul sekitar tahun 1910 di daerah kajen paling barat bersebrangan dengan desa Ngemplak yang bernama pol garut berdirilah pesantren yang diberinama sesuai dengan daerahnya yaitu polgarut, yang dipimpin oleh K.H. Abdussalam dan putranya K.H Mahfudh yang pada perkembangannya menjadi dua pesantren dengan berdirinya pesantren yang dikelola oleh K.H. Mahfud dengan nama Maslakul Huda dan pesantren yang lama bernama Matholi’ul Huda yang kemudian diasuh oleh Mbah Abdullah Zein Kakak K.H. Mahfudh. Maslakul Huda berdiri setelah K.H. Maffudh pulang dari pengembaraan intelektualnya dan dilanjutkan oleh adiknya K.H. Aly Mukhtar yang selanjutnya dikembangkan oleh K. HMA. Sahal Mahfudh hingga sekarang.
Keempat pondok diatas dalam perkembangan dan sejarah pesantren yang saat ini ada di Kajen menjadi barometer dan titik-titik pusat intelektual dan merupakan tipologi yang khas dari ciri pesantren yang ada. lazimnya sebuah pesantren yang memiliki daya juang dan kembangnya yang sangat independent, keempatnya melakukan proses yang sangat mandiri dan tidak mau terpengaruh oleh berbagai model dan cara yang dilakukan oleh yang lainnya, mereka memilki karakter dan kalau diamati kayaknya memilki pembagian tugas yang rigid dan jelas, penulis tidak tau secara pasti apakah mereka dalam pelaksanaan ide dan gagasan tersebut telah melakukan koordinasi dan konsolidasi sebelumnya atau tidak, namun yang jelas keempatnya memilki karakter yang kuat dan khas. Mereka berkembang dan berproses tanpa menafikan yang lain. Secara global pesantren yang ada di kajen bisa digambarkan sebagai sebuah universitas intelektual yang terdiri dari berbagai fakultas berupa pesantren-pesantren yang memilki karakter dan metode yang berbeda-beda.
Proses diatas merupakan sebuah konsekunsi yang wajar dari akibat nalar yang dimiliki oleh pesantren, yaitu kemandirian dan figur orientasinya yang kuat dalam pengelolaan mengakibatkan kesan bahwa mereka berkembang dengan sendiri-sendiri. Tampak luar seakan proses perkembangan pesantren yang terjadi di kajen terkesan tidak harmoni dan nafsi-nafsi. Namun diluar itu sebenarnya telah terjadi persaingan yang positif, dimana masing-masing pesantren yang ada selalu melakukan inovasi dan pembaruan sesuai dengan misi dan visi yang mereka miliki.
Pesantren wetan banon ( salafiyah ) dengan berbagai ekselerasi dan inovasinya telah melakukan banyak perubahan dan perkembangan yang berarti baik secara manajerial maupun kurikulumnya. Salafiyah sebagai sebuah pesantren sadar betul bahwa santri tidak saja dituntut mampu menguasai dan memahami ilmu agama namun lebih dari itu mereka harus menguasai bidang sain dan tehnologi, sehingga perlu dilakukan langkah-langkah konkret dalam proses metamosphosis yang mereka alami. Akhirnya dengan sadar dan terencana pesantren ini mendirikan madrasah yang terus mengalami perkembangan di berbagai bidang mulai dari kegiatan dan kurikulumnya yang semmuanya berbasis pada pengingkatan kemampuan dan kreatifitas santri. Perkembangan madarasah yang didirikan oleh pesantren mencapai puncaknya dengan diterimanya “ surat pengsahan perguruan agama Islam dari pemerintah pada tahun 1975 NO : K/127/III/75. Pada waktu itu di desa kajen salafiyah menjadi satu-satunya pesantren yang memilki madarasah yang diakui oleh pemerintah dan mengikuti ujian negara tahun 1980-an.
Meskipun diyakini sebagai pondok pertama di kajen pesantren tengah yang didirikan oleh K.H. Ismail yang kemudian diteruskan oleh K.H. Murtaji tidak mengalami perkembangan yang penting baru setelah berdiri dibekas pesantren yang lama yaitu pesantren Raudlatul ‘ulum yang diasuh K.H. Fayumi Munji pesantren tengah mulai mengalami sedikit perubahan yang sekarang diasuh oleh K. Ismail putra beliau. Pesantren tengah dalam pegembangan dan pengelolaannya tidak cukup mengalami perubahan yang signifikan dan substansial, pesantren tengah masih berpegang teguh sebagai lembaga tradisional yang mempertahankan berbagai tradisi yang dianut dan diyakininya dengan melakukan berbagai penyesuaian yang dilakukan dalam rangka efisiensi dan efektifitas.
Di wilayah ini ( pesantren tengah ) dalam perkembangannya berdiri berbagai pesantren disekitar masjid Kajen diantaranya: Pesantren Kauman yang didirikan tahun 1926 oleh K.H. Hasbullah, pada awalnya lembaga ini dipakai sebagai untuk pengajian al-Qur’an dan kitab-kitab salaf karena mengalami peerkembangan maka berdirilah pesantren yang selanjutnya diasuh oleh putranya yang bernama K. Munif hasbullah dan sekarang dipegang oleh K.H. Umar Hasyim adik iparnya, pesantren ini diberi nama kauman karena berada di komplek masjid yang identik dengan kaum beriman ( Kauman), yaitu sebelah barat Masjid kajen. Ke arah utara bersebelahan dengan pesantren kauman dapat ditemui pesantren Kauman kretek yang sekarang bernama APIK, pesantren ini didirikan sekitar tahun 1953 dibawah asuhan K.H Muhammadun ( menantu K.H. Nawawi ) dan sekarang diasuh oleh K. Zahwan dan K.H Junaedi putra beliau. Terus kearah utara berdiri pesantren Buludana yang dirintis oleh K.H. Muhtar al-Hafidh yang dalam perkembangannya dikelola oleh kedua putra beliau ( K. Abdul Bari Mukhtar dan K. M. makmun Mukhtar, pada masa awal kepemimpinan mereka pesantren ini bernama APELBUK ( Asrama Pelajar Buludana Kajen ) dan sekarang berganti nama menjadi pondok pesantren Mabda’ul Huda ( PPMH )
Seperti yang disinggung diatas pada masa awal dan perkembangannya di wilayah tengah pesantren tidak mengalami perubahan yang cukup berarti, baru pada tahun 1983 di wilayah ini terjadi perubahan yang pesat setelah berdirinya pesantren al-hikmah yang dirintis oleh K.H. Ma’mun Muzaiyyin ( menantu Mbah Dullah ) yang dalam waktu singkat sekitar satu dasawarsa mampu melakukan berbagai manuver dan akselerasi pertumbuhan yang menggembirakan dengan berbagai aktifitas dan kreatifitasnya, selain pesantren al-hikmah juga mendirikan madrasah yang dalam pengelolaannya dapat disamakan dengan yang dilakukan oleh pesantren wetan banon ( salafiyah ), juga melakukan pembaharuan dalam sistem pendidikannya, nampaknya dengan bijak pesantren ini belajar dari dinamika proses pendidikan nasional yang sedang berlangsung.
Pesantren kulon banon berada sekitar 200 meter arah timur makam mbah Mutamakkin dan didirikan oleh keturunan beliau generasi ke-enam yang bernama K.H. Nawawi putera K.H Abdullah. Dalam pengelolaannya K.H. nawawi dibantu oleh ketiga putra beliau yaitu K.H. Thohir, K.H. M. Fahrurrozi dan K.H. Ahmad Durri nawawi, pondok kulon banon ini berdiri tahun 1900, dilihat dari tahunnya pesantren ini merupakan pesantren kedua setelah pesantren tengah pertama berdiri. Setelah mengalami berbagai perubahan dan perkembangan pesantren ini lebih populer dengan nama pesantren TPII ( taman pendidikan Islam Indonesia ) yang diasuh oleh K.H. Muzammil Thohir ( putra K.H. Thohir Nawawi ) dan pada tahap selanjutnya berdirilah pesantren putri yang diasuh oleh adiknya yang bernama K.H. Muadz Thohir.
Sementara itu di desa Kajen bagian paling barat tepatnya di daerah polgarut pada tahun 1910 K.H. Abdussalam dan putranya K.H. Mahfudh mendirikan pesantren yang pada saat itu diberi nama pesantren matholi’ul Huda ( PMH ) dan dalam perkembangannya karena putranya telah selesai dalam melakukan pengembaraan intelektual diberilah sebuah tanah disebelah utaranya untuk mendirikan pesantren baru. Pesantren ini mengalami tiga masa kepengasuhan yang pertama periode perintisan dipegang oleh K.H. Mahfudh, dan periode peralihan karena putra beliau yang bernama K.H Sahal mahfudh masih menempuh pendidikan diberbagai pesantren di jawa dan arab, pada waktu ini pengasuh dipegang oleh adik K.H. Mahfudh yaitu K.H. Aly Mukhtar baru setelah K.H. Sahal Mahfudh merampungkan studinya pesantren ini dikelolan dan dikembangkan oleh beliau yang diberinama pesantren PMH Putra singkatan dari Maslakul Huda ( polgarut utara ) untuk membedakan dengan PMH pusat ( polgarut selatan ).
Dalam perkembangannya kedua pesantren ini mengalami kemajuan yang sangat pesat dan signifikan, selain dilanjutkan dengan berdirinya pesantren putri di masing-masing pesantren ini ( al-Husna – pesantren putri PMH Pusat ) dan al-badi’iyah- pesantren putri PMH Putra ), keduanya mengalami berbagai perubahan dan perkembangan baik dari segi methode pendidikan dan sistem pengelolaan. PMH Pusat sangat terkenal dan identik dengan pesantren yang memfokuskan pada pengfhafalan al-qur’an dan pengkajian kitab-kitab klasik sementara PMH Putra selain terkenal dengan pesantren salaf yang menekankan pada pengkayaan dan pengkajian fiqih juga lebih dikenal dengan sistem pengelolaannya yang moderat dan partisipatif.
Keberadaan kedua pesantren ini dalam sejarahnya tidak mungkin untuk dilepaskan dari berdirinya Madrasah Matholi’ul falah yang berdiri terpaut dua tahun dari berdirinya pesantren ini. Kalau pesantren wetan banon ( salafiyah ) dan tengah ( al-hikmah) dalam pengembangannya mendirikan madrasah namun PMH putra dan pusat dengan sengaja tidak melakukan langkah-langkah tersebut. Penulis belum mengetahui alasan dari pengambilan kebijakan tersebut, namun meskipun secara pengelolaan dan struktur antara PMH putra-pusat tidak terkait dengan Matholi’ul falah, kesinambungan diantara ketiganya nampak terlihat dalam penyesuaian kurikulum yang diberlakukan di pesantren tersebut, dimana setiap kegiatan yang akan diadakan oleh pesantren disesuaikan dengan berbagai kegiatan yang diprogramkan di madrasah matholi’ul Falah, bahkan kalau diteliti lebih jauh dalam hal kurikulum dapat ditemukan kesinambungan dan korelasi positif antara pesantren dan madrasah itu, apalagi sebenarnya ketiganya masih berada dalam satu payung yayasan nurul al-salam. Dan kurang lengkap dan komprehenshif kiranya jika mau memahami pesantren PMH putra dan PMH pusat tanpa mengaitkannya dengan keberadaan madrasah Matholi’ul Falah.
Kalau diteliti lebih seksama sebenarnya pembagian typologi dan klasifikasi pesantren wetan banon, tengah dan kulon banon kurang bisa dipertanggungjawabkan dalam sejarah perkembangannya, kalau pemberian istilah pesantren tengah yang diambil karena berada ditengah-tengah wetan banon dan kulon banon [8], secara geografis-historis sulit diterima, karena kalau kita lihat sejarah berdirinya pesantren tengah adalah pesantren pertama di kajen dan keberadaannya sebelum keduanya ( wetan dan kulon banon ). Istilah banon digunakan untuk dinding makam kanjengan yang dikelilingi oleh tembok besar ( banon ) sebagai penunjuk arah keberadaan pesantren awal yang berdiri hampir bersamaan di kajen.[9]
Dalam hal ini ada kerancuan dalam penggunaan istilah wetan banon, tengah dan kulon banon. Kalau yang digunakan penamaan itu mengacu pada keberadaan dinding makam kanjengan sebenarnya pesantren tengah berada di sebelah wetan banon dan kalau yang digunakan pemberian nama pesantren tengah adalah keberadaannya diantara pesantren wetan banon dan kulon banon juga sulit diterima karena pesantren tengah merupakan pesantren pertama di kajen, bagaimana mungkin memberi istilah tengah ketika pesantren wetan dan kulon banon belum berdiri. Akhirnya penulis mencoba menyimpulkan bahwa pemberian istilah pesantren tengah diambil setelah berdirinya pesantren wetan dan kulon banon, sementara istilah pesantren wetan dan kulon banon ditinjau dari keberadaannya dari dinding makam kanjengan.
Memahami pesantren kajen mesti memahami sejarahnya terlebih dahulu, keberadaan pesantren wetan banon, tengah dan kulon banon tidak dengan sendirinya terbentuk begitu saja. Ketiga pesantren tersebut berdiri hampir bersamaan dan dapat dikatakan sebagai embrio lahirnya berbagai pesantren yang saat ini ada di desa Kajen. Dalam perkembangannya, pesantren kajen bertolak dari ketiga titik pesantren tersebut yang berdiri hampir tepat terbagi kedalam wilayah itu, wetan banon, tengah dan kulon banon. Ketiga pesantren itu merupakan pemicu kebangkitan pesantren yang muncul belakangan di sekitarnya yang jika ditelusuri tidak terlepas dari ikatan keluarga dengan ketiga bani tersebut.
Sebagian besar masyarakat meyakini hingga sekarang tiga serangkai ulama tersebut melalui keturunannya menjadi panutan dan pengaruh besar serta penentu corak dan karakter pesantren yang ada di desa Kajen, secara sosio-religius dalam keyakinan masyarakat menempati posisi tertinggi. ketiga bani tersebut adalah keturunan Mbah Mutamakkin generasi ke-lima yaitu bani Siroj ( pesantren wetan banon-salafiyah ), bani nawawi ( pesantren kulon banon-TPII ) dan bani salam ( pesantren polgarut- PMH putra dan pusat ).
Pengaruh dan penentu corak serta karakter pesantren desa kajen yang diberikan ketiga bani tersebut tidak hanya disebabkan karena faktor garis keturunan dan sejarah saja namun juga dapat diduga kuat karena ketiga bani tersebut memilki pilihan dan cara yang khas dalam metode dan penggunaan sistem pendidikan serta pengelolaan pesantren yang mereka dirikan. Pesantren wetan banon misalnya dengan latar belakang sejarahnya memiliki nalar dan cara pandang yang khusus yaitu ingin mewujudkan sebuah lembaga pendidikan yang dinamis dan akseleratif, salafiyah memandang bahwa seorang santri tidak hanya dituntut mampu untuk memahami ilmu agama an-sich namun juga sepatutnya menguasai ilmu-ilmu umum seperti, sain dan tehnologi untuk itu berbagai upaya pengembangan mesti dilakukan demi terwujudnya cita-cita tersebut.
Sehingga pihak lain termasuk pemerintah adalah mitra di dalam proses pengembangan yang mereka lakukan dengan melakukan berbagai kerjasama, hal ini terbukti bahwa sejak awal salafiyah telah melakukan kerja-kerja tersebut yaitu dengan diakuinya oleh pemerintah pada tahun 1948 dan mendapat bantuan sarana penunjang pada tahun 1950 berupa tenaga pengajar dan alat-alat sekolah. Semua ini dilakukan dalam rangka pengembangan yang mengacu pada cita-cita diatas. Dalam proses sejarahnya sampai pada puncak kulminasi dalam sistem pendidikannya salafiyah sebagai sebuah lembaga mulai mengikuti persamaan ujian pada tahun 1980-an, mulai saat itu pesantren salafiyah dengan berbagai kegiatan dan aktifitas kependidikanya telah menyatu dengan sistem pendidikan pemerintah dengan mengikuti ujian negara, mulai saat itu pesantren salafiyah mengalami perkembangan yang cukup pesat dengan meraih berbagai prestasi di tingkat karisidenan Pati dan wilayah Jateng.[10]
Sementara itu pesantren kulon banon dan polgarut memiliki cara pandang dan nalar sendiri yang berbeda dalam mengelola sistem pendidikannya, kedua pesantren ini sejak dari awal sadar dan faham betul bahwa sebuah lembaga pendidikan akan memiliki karakter dan nalar yang kuat dan mampu melakukakn kerja-kerja kritis emansipatoris ketika dapat menempatkan diri dalam jarak yang sama dengan berbagai pihak termasuk pemerintah saat itu, independensi adalah jalan sadar yang dipilih dengan mendirikan sebuah madrasah pada tahun 1912 ditengah gejolak bangkitnya kesadaran kolektif bangsa indonesia dengan “nasionalisme”nya. Berbagai organisasi muncul dan berkembang saat itu seperti Muhammadiyah, Sarekat Islam dan berbagai ormas lainnya. Lahirnya madrasah ini berngkat dari keprihatinan dua orang kakak adik yaitu KH. Abdus Salam dan KH. Nawawi yang pada saat itu didukung oleh Mbah Sa’id seorang desersi kepolisian negara Singapura yang dalam pelariannya terdampar di desa Kajen. Keprihatinan itu disebabkan karena mereka memandang pengajaran pesantren yang ada pada saat itu kurang sistematis dan efektif, akhirnya mereka sepakar untuk membuka pengajaran pesantren dengan sistem klasikal.
Dalam proses perkembangannya keterkaitan pesantren kulon banon dan polgarut dengan keberadaan Madrasah ini yang akhirnya pada tahun 1922 oleh KH. Mahfudh Salam ( putra KH. Abdus Salam, salah satu pendiri Madrasah) diberi nama “Perguruan Islam Mathali’ul Falah” (PIM) tidak bisa dipisahkan begitu saja, mulai sistem yang saling terkait dan berkesinambungan sampai pada wilayah nalar dan gagasan besar yang selalu beriring dan sejalan, bahkan kalau dilihat dengan seksama dan teliti berbagai program dan aktifitas yang ada di pesantren ( Kulon Banon dan Polgarut ) sepenuhnya menunjang kegiatan yang dilakukan di PIM. Hal ini mulai kentara terlihat semenjak kepemimpinan PIM di pegang dan dikelola oleh KH.MA. Sahal Mahfudh ( putra KH. Mahfudh Salam ).
Pesantren Kulon banon dan Polgarut dalam setiap kegiatannya selalu mengorintasikan pada terbentuknya seorang insan yang sholih dan akrom, tujuan ini hanya dapat terwujud ketika santri sebagai seorang insan memiliki kemampuan sekaligus kemandirian dalam dirinya. Bagaimanapun juga dalam proses pembentukan itu dibutuhkan sebuah konsep dan metode yang sarat dengan nilai-nilai keislaman baik diwilayah, intelektualitas, emosionalitas dan spiritualitas. Seorang insan yang sholih dan akrom sudah barang tentu didalam dirinya terinternalisasi ketiga nilai-nilai tersebut.
Untuk itu dalam mewujudkan sistem dan metode pendidikan yang indegeneous dan khas yang saat ini dimiliki oleh PIM dibutuhkan sebuah kemandirian dan independenasi pengelolaannya dari campur tangan pihak manapun termasuk pemerintah, karena hanya dengan kemandirian dan independensi tersebut PIM mampu melkasanakan setiap gagasan dan konsep yang akan di realisasikan kedalam setiap program pendidikannya. Tujuan ini seiring dengan gagasan yang pernah dilontarkan oleh seorang pakat pendidikan kritis “gramsci” yang berpendapat bahwa, “ proses pendidikan seringkali digunakan untuk melanggengkan struktur kekuasaan dengan mempertahankan ideologi dan hegemoni negara” dan hal inilah yang saat ini telah dan terus dilakukan PIM sebagai sebuah lembaga pendidikan dengan berbagai program dan aktifitasnya untuk membentuk insan yang sholih dan akrom yang memiliki daya kritis dan emansipatoris yang berdiri kokoh diatas kemnerdekaan dan independensinya dalam berfikir dan bergerak.
Proses sejarah keberadaan PIM menunjukkan bahwa, kemandirian dan independensi telah menjadi nalar dan akar pemikiran dalam setiap gerak dan aktifitasnya, PIM adalah perguruan yang sadar betula akan pentingnya kemerdekaan dalam berfikir dan bersikap dan hal ini terlihat dalam berbagai pilhan yang diambil, seperti menolak ujian negara dan pemberian status oleh pemerintah, karena PIM meyakini ketika sebuah lembaga pendidikan telah menjadi bagian dari sitem pendidikan pemerintah yang sampai saat ini belum jelas arahnya mau dibawa kemana, maka sejak saat it juga lembaga tersebut tidak indepnden dan setiap aktifitasnya akan mengikuti dan harus rela melakukan perubahan yang dikehendaki oleh pemerintah, baik mulai dari sitem dan metode pengajarannya sampai pada wilayah kurikulumnya, dan hal ini sangat tidak diharapkan oleh PIM yang memilki sekian kurikulum yang khas dan independen.
Sistem organisasi kesiswaan yang dimiliki oleh PIM merupakan wahana yang sangat dinamis dan mendekati pada sistem ketatanegaraan yang saat ini ada, yaitu dengan model “presidensil” dengan keterwakilan siswa dalam setiap kelas melalui keberadaan MPS ( Majelis permusyawaratan Siswa ) yang setiap tahunnya memilih mandataris ( Presiden) untuk melaksanakan setiap kegiatan kesiswaan. Mekanisme yang dibangun sepenuhnya dalm koridor demokrasi dengan asaa dari siswa oleh siswa dan untuk siswa. Keikutsertaan siswa dalm setipa proses mekanisme organisasi sangat ketat dan sepenuhnya mereka yang melakukan setiap tahapan yang mesti dilalui tanpa campur tangan pihak Ustad ( guru ) bahkan lembaga PIM, mekanisme yang berlangsung telah berjalan dengan tertib dan sesuai dengan prosedur yang ada, pihak lembaga hanya menyediakan setiap kebutuhan yang menjadi “hak” siswa dengan mengucurkan dana yang telah dibayarkan oleh mereka setiap bulannya, dalam prosentase dana yang diputar oleh organisasi kesiswaan di PIM sangat besar, untuk saat ini hampir mencapai puluhan juta setiap periodenya.
Sejauh yang diketahui penulis, mungkin PIM satu-satunya lembaga pendidikan yang memilki 4 organisasi kesiswaan sekaligus dalam satu atap. Keempat organisasi itu adalah HSM ( Himpunan siswa Mathali’ul Falah), wadah organisasi yang dimilki oleh siswa putra dalam kegiatan umum, HISMAWATI ( Himpunan Siswa Mathali’ul Falah Putri ) yanhg dimilki oleh siswa putri dalam kegiatan umum dan masing-masing siswa putra dan putri masih punya wadah dalam kegiatan yang berbau ke-araban yang dinamakan Qismun Nasyath, yaitu wadah kegiatan siswa yang bergerak di wilayah pengembangan dan kegiatan bahasa arab.
Dalam mekanismenya organisasi kesiswaan yang ada di PIM diberikan keluasan dan kebebsan gerak selama tidak melanggar aturan yang ada dengan menerapkan konsep taman siswa “Ing ngarso sung tulodo, Ing madya mangun karso, Tut wuri handayani” sehingga organisasi kesiswaan dalam kiprahnya mampu melakukan berbagai aktifitas yang melahirkan prestasi. Diantara aktifitas yang dilakukan adalah, diskusi dan seminar ilmiah, pengajian umum, penerbitan bulletin, Marching band, kegiatan sosial-kemasyarakatan, pelatihan dan kursus, daurah bahasa arab, olah-raga, taman gizi, bursa buku. Dll.
Salah satu lagi tradisi yang sampai saat ini masih dipertahankan dan nampaknya akan tetap menjadi kurikulum adalah sistem hafalan bagi siswa untuk setiap kelas sebagai syarat kenaikan, juga pada setiap kelas terkhir masih dibebani dengan test kitab yang diujikan kepada pihak luar PIM dengan mendatangkan ustad dari berbagai perguruan dan madrasah lain. Dan khusus bagi kelas III aliyah yang akan merampungkan studi di perguruan ini di wajibkan membuat paper semacam “skripsi” ringan dalam bahasa arab yang dimunaqosyahkan menjelang kelulusan.
Dalam kebijakannya PIM juga mewajibkan setiap siswanya untuk menempuh pendidikan di pesantren dalam radius tertentu, hal ini diambil untuk menjaga ketertiban dan keberlangsungan proses belajar mengajar yang diterabkan, karena selain disinga hari seringkali kegiatan PIM juga dilaksanakan di malam hari, dengan demikian siswa akan konsen dan bisa fokus didalam mengikuti setiap program yang diterapkan. Kalender pendidikan di PIM dimulai pada bulan Syawal dalam kalender Islam dan memakai sistem evaluasi setiap empat bulan ( kuartal ) dalam memantau kegiatan belajar mengajarnya.
Sampai saat ini PIM dengan berbagai ciri khas dan problematikanya masih kuat berdiri kokoh diatas kakinya sendiri, berdikari dan mandiri serta independen dalam setiap kegiatan yang dilaksanakannya, hal inilah yang menjadi ciri khas dan sejkaligus kelebihan yang memang sengaja diambil PIM sebagai sebuah langkah nayata untuk mewujudkan cita-citanya dalam membentuk manusia yang sholih dan akrom.
Kalau dilihat dua aliran besar itulah ( Salafiyah dan PIM ) yang saat ini masih kuat mewarnai setiap corak pemikiran yang berkembang di pesantren yang ada di desa kajen. Karakter dan nalar yang berbeda yang sengaja diambil oleh keduanya sekaligus menjadi ciri khas dan kelebihan tersendiri di dalam proses pembentukan santri yang pada gilirannya dituntut untuk mengimplementasikan setiap pengetahuan dan ilmunya di dalam kehidupan nyata masyarakat. Perbedaan keduanya merupakan potensi yang tidak perlu dinegasikan satu sama lain, karena pada dasarnya kebenaran dan arah menuju sebuah kemajuan dan kemaslahatan adalah sebuah “proses” yang panjang dan memerlukan berbagai ide dan gagasan. Potensi keduanya adalah aset besar yang saat ini dimiliki Kajen sebagai sebuah “kampung santri” yang penuh dengan berbagai aktifitas keilmuan dan dinamika pendidikan. Bahkan pada tahapan tertentu nantinya tidak hanya keduanya namun fakultas-fakultas ( pesantren ) keilmuan yang memiliki corak dan nuansa yang berbeda-beda yang ada di Kajen perlu disinergikan menjadi sebuah universalitas keilmuan yang mencakup berbagai potensi yang ada, jika nanti tahapan ini mampu dilakukan oleh berbagai civitas yang ada di kajen, maka kajen akan menjadi sebuah icon dan barometer pendidikan pesantren yang mempunyai masa depan dan potensi yang dahsyat.
Tags:
Hikayat