Biografi H. Abdul Hadi - Hj. Aminah Kajen


Tulisan ini pernah disampaikan pada pertemuan Ibanah ke-6 di Rmh Paklik H Minanurrahman Kembang Dukuhseti Pati, November 2002

Pendahuluan
ِإنَّ هَذِهِ أُمَّتكُمُ ْأُمّةَ ًوَاحِدَة ًوَأَناَ رَبكُّمُ ْفَاعْبُدُوْنِ  ( الأنبيآء – 96)
(Sesungguhnya umatmu ini semua adalah umat yang satu, dan Saya adalah Tuhanmu maka menyembahlah kamu semua kepadaKu)

Sejarah mempunyai nilai dan kegunaan yang praktis. Sejarah memberikan pendidikan dan pengajaran yang sangat berharga kepada kita. Dari sejarah kita dapat mengetahui tentang kejadian-kejadian luar biasa yang sedikit banyak mempengaruhi kehidupan kita saat ini. Dari sejarah pula kita dapat belajar mengenai pengalaman dan keteladanan, perjuangan dan pengorbanan, keprihatinan dan kesuksesan, suka dan duka sehingga dengan mempelajari sejarah, ke depan nanti kita dapat menjadi lebih arif dan bijaksana. Menjadi pribadi yang matang, eling lan waspodo terhadap perubahan-perubahan jaman yang sangat dinamis saat ini, dimana angin modernisasi dan globalisasi seakan mencerabut akar budaya dan nilai-nilai luhur kepribadian dan watak diri, keluarga, sanak famili, masyarakat dan bangsa kita. Apalagi akulturasi budaya yang begitu derasnya akibat kemajuan tehnologi dan keterbukaan informasi sehingga tak terasa kita terlempar dalam keterasingan diri (alienisasi). Kita tak tahu lagi dimana kita berpijak karena batas-batas teritorial sudah hampir tak kentara. Kita tak tahu lagi dengan satuan nilai apa kita menimbang dan mengukur benar dan salah. Kita tak tahu lagi mana yang disebut baik dan jelek, pantas dan tidak pantas. Dengan apa ukuran kelayakan dan kepatutan kita terapkan karena semuanya telah bercampur aduk, bertumpang tindih, berkelindan merasuki jiwa dan pikiran kita.

Selain daripada itu, dengan sejarah kita dapat mengetahui siapa leluhur dan nenek moyang kita. Mengetahui kita dari mana dan keturunan siapa. Kita dapat mendeteksi jejak generasi sebelum kita. Kita mengetahui bagaimana mereka tumbuh, berkeluarga, bermasyarakat, apa yang telah mereka berikan kepada keluarga, masyarakat, agama yang mana dari itu kita dapat mengambil hikmah dan i'tibar bagi diri kita, dan yang lebih penting kita tidak menjadi generasi yang hilang di tengah-tengah arus perubahan yang begitu dasyat karena kita masih tetap memegang tradisi dan nilai-nilai yang diwariskan generasi pendahulu kita.
 
Maka, sangatlah tepat apabila kita kembali menoleh kepada sejarah. Disitu kita kembali melihat dan merenungi arti perjuangan dan pengorbanan generasi-generasi sebelum kita dalam menegakkan nilai-nilai akidah yang kita yakini. Kita meneladani bagaimana mereka mengamalkan dan menjunjung tinggi nilai-nilai syari'at, tradisi dan budaya nenek moyang yang luhur. Kita mensyukuri atas upaya mereka yang telah membekali dan membentengi kita dengan pendidikan dan ilmu sehingga kita tidak termasuk orang-orang yang tersesat. Dengan menoleh kepada sejarah kita dapat merefleksikan sejauh mana tingkah laku kita masih berjalan pada track yang benar.

Melihat urgennya persoalan-persoalan diatas, maka sudah seyogyanya bila kita ingin mengetahui tentang jejak langkah dan cerita kehidupan pendahulu kita, khususnya nenek buyut kita mbah H Abdul Hadi dan mbah Hj Aminah, yang mana dalam satu dekade ini, Alhamdulillah, para keturunan mbah H Abdul Hadi dan Mbah Hj Aminah senantiasa dapat bersilaturrahmi, berinteraksi, saling mengenal, membantu dan menolong dan menyatukan diri dalam forum Ikatan Keluarga Keturunan H Abdul Hadi dan Hj Aminah atau disingkat Ibanah yang secara rutin dua tahun sekali berkumpul dalam kegiatan silaturrahmi bersama.

Dalam setiap silaturrahmi yang diselenggarakan setiap bulan Syawal tersebut, terasa ada yang berkurang. Seiring perjalanan waktu, tak terasa satu demi satu orang-orang tua kita, punjer (keturunan langsung) dari mbah H Abdul Hadi meninggal dunia. Dan juga tak terasa generasi-generasi baru lahir dari anak cucu beliau sehingga saat ini dalam Ibanah telah ada 5 tingkat generasi. Dengan semakin sedikitnya para orang tua dan semakin panjangnya jenjang generasi keturunan mbah H Abdul Hadi dan mbah H Aminah, maka tak pelak terjadi kesenjangan (gap) komunikasi dan keakraban antar anggota Ibanah. Hal tersebut sangat dimaklumi karena bagaimanapun tiap generasi mempunyai suasana kehidupan dan jaman yang berbeda-beda. Selain daripada itu, ada persoalan yang dipandang cukup serius, yaitu bahwa generasi-generasi baru yang lahir belakangan kesulitan mengetahui sejarah nenek moyangnya karena orang-orang tua sebagai sumber berita semakin sedikit dan karena berbagai kendala cukup sulit menghubunginya. Dikhawatirkan lambat laun generasi-generasi belakangan tersebut tidak tahu menahu akan leluhurnya, tidak mengenal sanak famili dan kerabatnya dan ironisnya mereka cuek saja dengan keadaan tersebut yang berakibat Ibanah akan kehilangan eksistensinya. Kalau kita mencoba mengamati, saat ini indikasi kearah tersebut sudah mulai tampak.

Berangkat dari persoalan di atas, dalam salah satu forum rapat panitia silaturrahmi Ibanah pada bulan September 2002, memutuskan perlu dibuat tulisan tentang sejarah kehidupan mbah H Abdul Hadi dan mbah Hj Aminah dan keturunannya agar generasi-generasi belakangan tidak terputus dengan sejarah leluhurnya dan selanjutnya menugaskan ketua panitia (H Minanurrahman) dan penulis untuk menginventarisir informasi-informasi mengenai beliau untuk kemudian merangkai dan menyusunnya dalam satu buku yang sekiranya dapat menjadi panduan dan informasi berharga tentang beliau, sehingga jejak langkah dan keturunan beliau senantiasa dapat diketahui dan menjadi contoh dan inspirasi serta pengetahuan kepada cucu-cucu dan generasi penerusnya.

Namun ada satu permasalahan yang cukup pelik, yang mana hal itu sering terjadi ketika menyusun sejarah kejadian masa lampau apalagi tentang kehidupan seseorang, yaitu tentang keterbatasan sumber berita dan saksi hidup yang dijadikan narasumber penulisan. Pada saat tulisan ini disusun, putra putri mbah Abdul Hadi dan mbah Aminah semuanya telah meninggal dunia. Orang-orang se-generasi mereka juga kebanyakan telah tiada. Sedangkan buku-buku referensi tentang sejarah desa Kajen sangat sedikit jumlahnya, itupun tidak ada yang menyangkut pada kehidupan mbah H Abdul Hadi dan mbah H Aminah secara langsung. Selain itu penulis hanya diberi waktu yang sangat singkat untuk menyusun tulisan ini, yakni hanya tiga setengah bulan dengan deadline pertengahan Romadlon 1423H harus sudah selesai. Direncanakan pada pertemuan silaturrahmi Ibanah tahun 2002 nanti tulisan ini dapat dibagikan oleh seluruh anggota Ibanah karena kesempatan itulah yang dipandang paling tepat. Apalagi ada salah satu acara yang bertema tentang sejarah mbah H Abdul Hadi dan mbah H Aminah yang akan ditampilkan pada forum pertemuan silaturrahmi tersebut.

Kondisi diatas yang dialami penulis dalam menyusun tulisan ini. Tentunya dapat dibayangkan betapa repotnya. Namun, Alhamdulillah, ternyata masih ada secercah harapan untuk menguak sejarah mbah Abdul Hadi dan mbah Aminah. Cucu-cucu beliau yang pernah mengalami kehidupan langsung bersama beliau yang sekarang masih cukup banyak akhirnya menjadi rujukan utama dalam penulisan ini. Diantaranya adalah KH Ma'mun Muzayyin, Abdul Mu'id, KH Abdul Bari, Sholihah Muhtar. Mahfudz Muhtar dan yang lainnya yang tidak dapat disebutkan satu persatu. Juga yang cukup banyak membantu adalah silsilah mbah H Abdul Hadi dan mbah Aminah yang disusun oleh Saifuddin Zuhri Muzayyin. Tentunya tidak lupa kami mengucapkan berterima kasih sebesar-besarnya kepada mereka seiring ucapan "Jazaakumullah Khaoirol Jazaa" atas informasi yang diberikan sehingga tulisan ini dapat tersusun. Dalam tulisan yang masih sangat sederhana ini kami mengharap saran, kritik dan masukan dari semua pihak, terutama informasi-informasi tambahan tentang sejarah mbah H Abdul Hadi dan mbah Hj Aminah. Kami yakin masih banyak narasumber yang dapat dieksplorasi mengenai cerita beliau, namun sekali lagi karena keterbatasan informasi dan mepetnya waktu, maka untuk sementara hanya tulisan ini yang dapat tersaji dihadapan pembaca. Semoga setelah pertemuan silaturrahmi nanti, dibentuk tim yang akan menyempurnakan tulisan ini menjadi buku riwayat mbah H Abdul Hadi dan mbah H Aminah yang lengkap dan mendetail. Akhirnya, tiada gading yang tak retak, atas segala kekeliruan dan kekurangan dalam penulisan ini kami mohon ma'af sebesar-besarnya karena kami yakin itu diluar kesengajaan.

Kajen, 24 Nopember 2002

Penyusun, Achmad Mudzaffar

Bag 1 : Riwayat Mbah H Abdul Hadi
H Abdul Hadi sugeng (hidup) kurang lebih sekitar tahun 1880 s/d 1940-an atau pada waktu masih sugengnya KH Abdullah, ayahanda KH Nawawi dan KH Abdussalam. Beliau adalah asli putra Kajen tepatnya anak dari Abdul Hadi saudara dari mbah Ishak, orang tua KH Siroj, pendiri pesantren Salafiyah (Wetan Banon). Jadi beliau dengan KH Siroj adalah saudara sepupu. Nama asli beliau adalah Kertonadi. Namun setelah beliau pergi haji nama beliau diganti dengan H Abdul Hadi seperti nama orang tua beliau. Mbah H Abdul Hadi mempunyai perawakan tegap, tinggi badan agak kecil dan berkulit sawo matang. Apabila kita membayangkan beliau, gambaran yang paling mirip dengan beliau adalah putra beliau yang ke-7 yakni KH Syairozie, Kembang Dukuhseti.

Latar belakang keluarga beliau bukanlah keluarga kyai. Juga bukan keluarga ningrat, walaupun waktu itu feodalisme (priyayi) masih menyisakan bekas-bekas kejayaannya. Beliau dari keluarga biasa saja. Namun karena sosio kultural masyarakat desa Kajen yang telah diwarnai secara kental dengan nilai-nilai syari'at Islam sejak KH Mutamakkin pada tahun 1700-an terdampar di desa Cebolek (sebelah timur Kajen) dari perjalanan beliau pulang dari tanah suci dan kemudian aktif berda'wah dan menjadikan desa Kajen sebagai pusat pengembangan Islam di daerah Pati, maka masyarakat Kajen kebanyakan telah berkembang menjadi masyarakat santri yang militan, asketis (zuhud) dan egaliter. Apalagi setelah desa Kajen menerima status perdikan dari Paku Buwono II sekitar tahun 1730-an setelah kejadian pengadilan KH Mutamakkin oleh Katib Anom Kudus, seorang hakim agama di Keraton Kartosuro dan Patih Danurejo terhadap kasus ajaran esoterisme (ilmu hakikat/tasawwuf) yang dikembangkan oleh KH Mutamakkin. Akhirnya dalam perdebatan dimenangkan oleh KH Mutamakkin dan oleh Paku Buwono II diangkat menjadi guru spiritualnya. Imbas dari kejadian tersebut desa Kajen lantas dibebaskan dari pajak dan dijadikan desa perdikan (Perjuangan Syeikh Ahmad Mutamakkin, HM Sanusi). Perubahan status perdikan tersebut mengakibatkan kepribadian masyarakat Kajen menjadi confident dan otonom. Dalam situasi demikianlah dapat digambarkan bagaimana latar belakang dan sosio cultural keluarga mbah H Abdul Hadi.

Sejak kecil sampai dewasa beliau menghabiskan waktunya dengan mengaji dan belajar di langgar sundo Kulon Banon, yakni pesantren KH Abdullah ayahanda KH Nawawi dan KH Abdussalam. Penamaan Pondok Wetan Banon dan Kulon Banon disandarkan pada letak posisinya dari makam Kanjengan, makam para ningrat Pati yang terletak di sebelah barat makam KH Mutamakkin. Makam tersebut dikelilingi oleh tembok besar dan tinggi (Banon). Pondok Wetan Banon adalah Pesantren Salafiyah yang didirikan oleh KH Siroj pada tahun 1902, sedangkan pondok Kulon Banon adalah Pesantren yang sekarang bernama TPII yang dirintis oleh KH Abdullah beberapa tahun sebelum pondok Wetan Banon berdiri. Mbah H Abdul Hadi mengaji kepada KH Abdullah bersama-sama dengan KH Nawawi dan KH Abdussalam.

Pada waktu itu pondok pesantren di desa Kajen jumlahnya masih sangat sedikit, bahkan dapat dikatakan bahwa pondok pesantren yang mula-mula telah mengajarkan pendidikan secara reguler adalah pesantren Kulon Banon yakni pesantren KH Abdullah. Sistim pengajarannya yang dipakai pada waktu itu adalah sistim bandongan dimana guru atau kyai mengajarkan pelajaran dengan cara membaca kitab-kitab kuning di hadapan para santrinya satu kalimat demi kalimat dengan memaknainya menggunakan metode utawi iki iku yang sangat populer di pesantren-pesantren di Jawa sejak abad pertengahan. Setelah satu kalam atau satu alenia selesai kemudian guru atau kyai menginterpretasikannya (murodi) tentang maksud dari alenia tersebut. Metode ini dirasa sangat efektif bagi santri untuk memahami kalimat berbahasa Arab yang terkenal dengan struktur gramatikanya yang rumit dan canggih. Pertama-tama menandai kalimat demi kalimat sesuai dengan fungsi dan kedudukannya pada susunan kata tersebut (memberi tanda grammar; mubtada, khabar, sifat, mausuf, fa'il, maf'ul dll), baru kemudian mengartikan makna dari setiap kalimat tersebut. Setelah satu rangkaian kalimat tersusun kemudian menerangkannya (murodi) akan maksud dari kalimat atau alenia tersebut. Dengan metode ini murid atau santri dapat memahaminya secara konstruktif dan runtut. Sistim bandongan ini dilakukan dihadapan banyak santri. Selain sistim ini ada juga sistim yang cukup populer yakni sistim sorogan. Sistim ini secara tehnik sama dengan sistim bandongan tetapi perbedaannya adalah yang membaca adalah si murid atau santri di hadapan guru atau kyai yang menyimak dan mencermati bacaan santri tersebut untuk kemudian membetulkan kesalahan dari ucapan santri tersebut. Cara ini biasanya dipakai oleh santri yang telah senior dan kebanyakan untuk memperoleh berkah (tabarrukan) dari guru atau kyainya. Sedangkan sistim klasikal dengan kurikulum yang baku yang diberlakukan pada lembaga-lembaga pendidikan sekarang termasuk pondok pesantren saat itu belum dilaksanakan. Hal tersebut mungkin karena cara pengajaran modern tersebut belum dikenal dalam dunia pesantren atau karena memang cara pengajaran di dunia pesantren mempertahankan ciri khas semacam itu yang berlangsung secara turun temurun sejak diperkenalkan oleh para pelopor pengembangan Islam di tanah Jawa (Walisongo).

Apabila kita mencermati kita dapat melihat suatu perbedaan yang cukup mendasar dimana dalam pendidikan di pesantren peserta didik (santri) bukanlah sebagai objek pendidikan semata sebagaimana sistim klasikal modern yang hanya menjejali si murid dengan serangkaian materi pelajaran yang telah terprogram dalam satuan kurikulum dan harus habis dalam satu periode masa pendidikan tanpa melihat daya kognitif si anak yang berbeda-beda. Hal tersebut akhirnya demi menyelamatkan reputasi sekolah pihak sekolah terpaksa mengatrol nilai peserta didik yang kurang mampu agar dapat naik ke jenjang yang lebih tinggi. Dalam sistim pendidikan pesantren klasik yang terpenting adalah si anak (santri) pada akhir masa pendidikannya di pesantren benar-benar mampu menguasai materi pendidikan yang mereka peroleh berdasarkan kesanggupannya sendiri meskipun ada yang dicapai selama bertahun-tahun sesuai dengan daya kognitif masing-masing santri. Namun ada hal yang paling menonjol dari hasil pendidikan pesantren klasik yaitu bagaimana sikap afektif yang begitu dominan pada diri para santri yang mana sikap tersebut sangat berarti dalam membentuk kepribadian santri untuk berperilaku santun, berakhlaqul karimah, menghormati pendidik, kyai dan sesama santri dan perilaku bermasayarakat yang beradab. Tentunya, saat ini kita melihat hal demikian sudah sangat jarang ditemui disekitar kita, apalagi murid-murid pendidikan umum yang kerjanya hanya tawuran dan menghabiskan duit orang tua.

Karena mbah Abdul Hadi sejak kecil dididik dan besar di lingkungan kyai, maka beliau tumbuh menjadi pribadi yang sholih, berpegang teguh pada nilai-nilai agama dan besikap rendah hati. Namun sifat yang paling menonjol dalam diri beliau adalah senantiasa berkhidmat dan perhatian (ngesto'ake) kepada kyai atau Ulama termasuk keluarganya. Tenaga, pikiran dan harta benda beliau curahkan kepada Ulama dan kepentingan ilmu agama (Islam). Pernah suatu hari ketika beliau masih mengaji di pesantren, salah seorang putra kyainya hendak berhutang uang kepada beliau. Tanpa bertele-tele beliau mengatakan kepada putra kyai tersebut agar mengambil sendiri di laci milik beliau dengan jumlah yang dikehendakinya sendiri. Beliau berteman akrab dengan KH Nawawi dan KH Abdussalam ayahanda KH Abdullah Salam. Bahkan dengan Mbah KH Nawawi beliau ber-besanan.

Beliau mempunyai kebiasaan yang sangat mengagumkan dan hal itu beliau lakukan hampir sepanjang usia beliau. Kebiasaan tersebut adalah beliau selalu membaca sholawat kapanpun dan dimanapun. Begitu seringnya bersholawat seakan-akan setiap kata yang terucap senantiasa mengandung pujian kepada nabi Muhammad SAW. Istilah Jawanya bacaan sholawat beliau telah ngelambe ( tak bernah berhenti). Mungkin karena kebiasaan beliau tersebut, pernah KH Abdullah Salam (alm.) mengatakan bahwa jenazah mbah H Abdul Hadi termasuk jenazah yang jasadnya masih tetap utuh sampai sekarang bahkan di lokasi makam beliau terlihat bersinar seperti ada lampu listrik ribuan watt yang menyala terang benderang. Karena KH Abdullah Salam termasuk orang yang memperoleh karomah dari Allah SWT (saint), maka beliau mampu melihat keadaan tersebut, wallahu a'lam bishshawab.
Sebelum mbah Abdul Hadi menikah dengan mbah Aminah, ada peristiwa menarik yang dialami beliau dan secara tidak langsung mengakibatkan perjodohannya dengan mbah Aminah. Beliau pernah hendak dijodohkan dengan seorang gadis dari Lodan Rembang. Pada suatu hari datang utusan dari pihak gadis tersebut. Dengan perumpamaan yang halus (persemon) mereka meminta kepada mbah Abdul Hadi menyediakan buah nangka muda (tewel) dan kunyit. Karena permintaan tersebut terasa agak aneh, maka beliausowan kepada KH Abdullah dan memberitahukan tentang permintaan utusan dari Lodan tersebut. Setelah mendengar perkataan mbah Abdul Hadi, sejenak KH Abdullah tersenyum dan menyarankan kepada beliau agar membatalkan perjodohannya dengan gadis Lodan tersebut karena latar belakang keluarganya yang matere ( suka harta). Beliau, KH Abdullah memaknai bahwa permintaan tewel dan kunyit itu tidak lain bahwa pihak keluarga gadis minta kepada mbah Abdul Hadi apabila mempersunting gadis tersebut agar menyediakan kerbau dan seperangkat emas. Hal tersebut dinilai bahwa permintaan tersebut tidak sesuai dengan nilai-nilai budaya yang dianut masyarakat Kajen yang lebih mementingkan nilai ibadah daripada menonjolkan kekayaan duniawi. Beliau KH Abdullah lantas menjodohkan mbah Abdul Hadi dengan mbah Aminah putri dari mbah Abdul Qodir dan mbah Mukirah yang mana keduanya sama-sama orang Kajen.
Pernikahan beliau diperkirakan berlangsung sekitar tahun 1900 Masehi karena anak pertama beliau, yakni mbah Ti (Mustariyati) lahir sekitar tahun 1901. Dari hasil pernikahannya dengan mbah Aminah beliau memperoleh 13 anak. Mbah Abdul Hadi dan Mbah Aminah pernah mempunyai anak kembar dampit yakni anak ke 11 dan 12, namun meninggal ketika masih bayi sehingga yang hidup sampai tua ada 11 orang. Nama-nama putra putri beliau secara berurutan dari yang tertua hingga terakhir adalah : Mustariyati, Thohiroh, Subakkir, Muzayyin, Muhammadun, Muslihatun, Syairozi, Mas'amah, Ahmad Rifa'i, Mufarrihah, Kembar dampit (meninggal) dan Ahmad Yusa'. Kesebelas putra putri beliau biasanya akrab dipanggil dengan panggilan sejak kecil secara berurutan ; Ti, Thohi, Bakir, Yin, Madun, Tun, Garim, Amah, Fa'i, Ikha dan Sa'.
Mbah Abdul Hadi juga mempunyai jiwa wirawasta yang cukup tinggi. Hal tersebut mungkin berangkat dari kondisi desa Kajen yang terletak di tengah-tengah kecamatan Margoyoso yang diapit oleh perkampungan desa-desa sekitarnya. Desa Kajen dengan luas 63 hektar hanya mempunyai lahan pekarangan. Tanah tegalan hanya seluas kurang  4 hektar yang terselip diantara rumah-rumah penduduk. Tidak mempunyai lahan sawah maupun tambak. Dengan kondisi tersebut penduduk desa Kajen mau tidak mau harus pandai-pandai mencari sandaran ekonomi. Bagi yang tidak mempunyai modal terpaksa mereka menjadi buruh tani atau buruh serabutan lain. Sedangkan yang mempunyai modal biasanya mereka berwiraswasta. Ada yang menyewa sawah, tegal dan tambak yang banyak terdapat di desa-desa sekitar. Bahkan banyak pula penduduk desa Kajen yang mampu memilikinya. Ada juga pekerjaannya menebas (memborong) hasil tegal dan sawah. Selain itu bagi yang mempunyai skill dan modal ada yang mempunyai kegiatan memproduksi komoditas sehari-hari (consumer goods). Yang populer pada waktu itu adalah produksi rokok, kain batik dan pembuatan nila (pewarna pakaian). Jadi pada waktu itu desa Kajen selain pusat pengembangan pendidikan pesantren di kawasan kabupaten Pati dan sekitarnya, juga merupakan desa swakarya dimana kegiatan ekonominya berkembang cukup dinamis.
Begitupun mbah Abdul Hadi, beliau seorang wiraswasta yang cukup ulet. Berbagai usaha pernah beliau lakukan. Yang terkenal di mata cucu-cucunya adalah beliau mempunyai usaha produksi  nila (pewarna pakaian). Menurut cerita dari salah seorang cucu beliau, mengatakan bahwa usaha tersebut cukup besar melihat bahwa setiap minggu beliau sering menjual hasil produksi nila tersebut  ke kota-kota besar seperti Semarang dan Solo. Karena pada waktu itu belum ada angkutan kendaraan bermesin seperti sekarang, maka beliau mengangkut produknya dengan andong (cikar yang ditarik sapi) Bisa dibayangkan berapa hari perjalanan untuk sampai ke Semarang atau ke Solo.
Tempat produksinya cukup besar terletak di sebelah barat rumah beliau yang sekarang menjadi kompleks pesantren APIK. Lokasi rumah beliau pada waktu itu adalah  sekarang di sebelah timurnya rumah H Farhan Rifa'i memanjang ke selatan dimana dapurnya sekarang menjadi rumah Syaifuddin Zuhri bin Muzayyin. Rumah beliau sebagaimana rumah Jawa pada umumnya yaitu rumah Joglo (gebyok) berbahan papan kayu jati menghadap ke utara. Bekas anak buah beliau yang kemudian juga sukses dan termasuk salah satuaghniya' desa Kajen adalah H Fauzan kakeknya bapak Drs. H Ali Mutarom dan bapak Yasin Tasrif SH.
Selain itu beliau juga mempunyai banyak tanah di desa Sumber sebelah barat desa Ngemplak Kidul. Menurut cerita tanah beliau berhektar-hektar yang digarapkan kepada petani setempat untuk ditanami hasil bumi dan palawija. Melihat hal demikian kita
tentu menilai bahwa mbah H Abdul Hadi adalah seorang yang kaya (aghniya'). Untuk ukuran masyarakat Kajen pada waktu itu dapatlah dikatakan demikian, namun bagi beliau sendiri beliau tidak pernah merasakan hal tersebut apalagi menonjol-nonjolkannya. Sebagaimana yang telah disinggung diatas bahwa beliau adalah pribadi yang mengutamakan kepentingan ibadah dan agamanya serta sangat perhatian dengan Ulama (kyai), maka seluruh tenaga, pikiran harta benda bahkan keluarga beliau curahkan untuk kepentingan ilmu agama (Islam). Suatu ketika KH Abdussalam menikahkan putranya, maka segala keperluan hajatan KH Abdussalam beliau cukupi, bahkan menurut suatu cerita sampai beberapa cikar yang terdiri dari hasil hasil bumi, kelapa, kayu bakar dan keperluan lainnya. Karena cintanya dengan kyai dan ilmu agama, maka semua putra beliau pondokkan di pesantren. Mbah Muhammadun dan mbah Syairozie beliau pondokkan di Kulon Banon di KH Nawawi dan Pol Garut di KH Salam. Sedangkan mbah Bakir, mbah Muzayyin di pondokkan di Termas, Magetan. Menantunya mbah Ilyas (suami mbah Mustariyati) dipondokkan di luar Kajen. Bahkan menantu beliau mbah Muhtar Alhafidz (suami mbah Thohiroh) beliau ongkosi waktu belajar di Makkah, Arab Saudi selama 9 tahun. Semua kekayaan beliau habiskan untuk membiayai putra-putri dan menantu beliau
menimba ilmu agama (syari'at) selama bertahun-tahun di berbagai pondok pesantren.
Dalam mendidik putranya beliau tidak begitu saja pasrah bongko'an kepada pengasuh. Suatu ketika beliau menanyakan tentang kegiatan putranya mbah Muhammadun di waktu malam. Jawaban mbah Muhammadun tentang kegiatannya di pesantren Kulon Banon tidak begitu saja beliau percayai, maka pada suatu malam secara diam-diam beliau mengecek atau mengontrol langsung  kegiatan putranya tersebut di pondok. Ketika beliau menemukan mbah Muhammadun tengah tekun muthola'ah (mengkaji) kitab-kitab kuning di kamar pondoknya barulah beliau merasa lega. Hal tersebut sering beliau lakukan demi ingin melihat putra-putranya betul-betul berhasil dalam menuntut ilmu. Karena ketekunan mbah Muhammadun dalam belajar, beliau diambil mantu oleh kyainya sendiri yakni mbah KH Nawawi.
Selain hal diatas mbah Abdul Hadi termasuk orang yang mempunyai keahlian dalam sanitasi atau pengairan. Hal tersebut beliau manifestasikan dalam pembuatan blumbang(kolam besar) pondok Kulon Banon yang sekarang menjadi kamar mandi pondok TPII. Selain itu pembuatan blumbang dan padusan (tempat mandi dan mencuci) masjid Kajen sampai sanitasi kearah makam KH
Mutamakkin dimana dulu di pintu masuk makam terdapat kolam kecil untuk membersihkan kaki apabila hendak masuk makam sampai blumbang Pesarehan. Semua itu adalah hasil dari kreatifitas mbah Abdul Hadi.

Bag 2 : Riwayat mbah Hj Aminah
Tidak banyak diketahui tentang riwayat mbah Aminah. Mungkin posisi mbah Aminah sebagai konco wingking (istri) yang peranannya lebih dominan pada sektor domestik sebagaimana kebanyakan yang terjadi pada keluarga masyarakat Jawa yang berbudayapatriarkial. Apalagi pada jaman kolonial Belanda, dimana saat itu posisi perempuan benar-benar  ter-subordinat. Kesempatan belajar atau sekolah sangat kecil. Bangku sekolah hanya untuk kaum lelaki, orang kaya atau golongan ningrat. Kondisi demikian mengakibatkan kebanyakan perempuan buta huruf. Mbah Aminah sendiri hanya berkesempatan belajar kepada orang tuanya sendiri. Menurut silsilah yang dibuat oleh Syaifuddin Zuhri mbah Aminah adalah putri dari mbah Abdul Qodir dan mbah Mukirah. Tidak banyak yang diketahui tentang mbah Abdul Qodir, hanya saja beliau adalah seorang sholih yang sederhana. Beliau
orang Kajen. Menurut riwayat beliau seorang guru mengaji. Putra mbah Abdul Hadi yang pernah mengaji kepada beliau adalah mbah Muzayyin. Setelah khatam kemudian melanjutkan ke mbah KH Salam, pondok Pol Garut. Sedangkan mbah Mukirah adalah anak dari pak Samsur dimana beliau dengan mbah Abdul Hadi (orang tua Kertonadi) adalah saudara sepupu karena ibunya mbah Abdul Hadi, yaitu Sawijah dengan ibunya pak Samsur adalah saudara. Keduanya anak dari Muniroh dan Mad Anom. Mad Anom sendiri merupakan cucu (ibu Thoyyibah) dari mbah Hendro Muhammad putra KH Ahmad Mutamakkin dengan Nyai Brengos (Sholihah).
Mbah Aminah adalah seorang gadis sederhana. Berperawakan ramping, agak tinggi menurut ukuran kebanyakan wanita Jawa dan berkulit bersih. Beliau dinikahkan dengan mbah Abdul Hadi dalam usia yang masih tergolong cukup muda. KH Abdullah yang menjodohkan beliau dengan mbah Abdul Hadi (Kertonadi). Beliau bukan pribadi yang banyak bicara (cerewet), bahkan raut mukanya cenderung selalu tampak serius. Bicaranyapun tampak selalu serius. Namun meski begitu beliau sangat sayang dan perhatian (gumati) terhadap anak dan cucunya. Pribadi yang menonjol pada mbah Aminah adalah meski beliau hanya seorang perempuan namun beliau tidak mau hanya pasif
tanpa melakukan kegiatan apa-apa.  Setelah mbah Abdul Hadi meninggal, sekitar tahun 1940-an, kegiatan mbah Aminah adalah menjual hasil tanaman pekarangan ke pasar Bulumanis. Mulai dari kelapa, buah dan lain-lain. Namun yang menjadi dagangan utama adalah kembang gading (cempaka putih) yang selalu rutin beliau setorkan ke pasar. Di belakang rumah beliau ada pohon gading yang sangat besar yang senantiasa berbunga sepanjang tahun. Di pasaran harga kembang gading cukup mahal, maka, setiap hari mbah Sa' yang bertugas memetik kembang gading tersebut. Kalau mbah Sa' sedang tidak ada (udzur), maka cucunya yang bernama Mahfudz, anak dari mbah Thohiroh yang menggantikan mbah Sa' memetik kembang gading. Mahfudz dapat upah memetik kembang gading tersebut, sehingga diantara cucunya, Mahfudz yang paling banyak uang.
Karena mbah Aminah punya beberapa pedagang (bakul) yang sudah mapan, maka, setiap hari beliau menyetorkan kembang gading tersebut. Setelah itu biasanya beliau berbelanja untuk keperluan dapur. Apabila pulang, beliau tidak pernah lupa membeli oleh-oleh jajan pasar yang selalu  ditunggu cucu-cucunya di rumah. Sesampai di depan rumah biasanya cucu-cucunya sudah menghadang dan sontak berhamburan ketika melihat sosok mbah
Aminah muncul dengan belanjaan dan oleh-oleh yang bergelantungan diantara tubuh beliau. Cucu-cucunya yang senantiasa merasakan oleh-oleh mbah Aminah diantaranya Munawaroh, Malihatin, Sholihah, Maryam, Ma'mun Muzayyin, Abdul Mu'id, Abdul Bari, Mahfudz, dan lain-lain.
Diantara cucu-cucunya, yang paling dekat dengan beliau adalah Ma'mun Muzayyin, Mahfudz, Abdul Bari dan Maryam. Mereka sering mendapatkan curahan perhatian dan kasih sayang dari beliau. Mungkin karena mereka lahir lebih dahulu daripada cucu-cucu beliau yang lain dan juga tempat tinggal mereka yang berdekatan dengan rumah beliau sehingga hampir setiap hari mereka selalu datang ke rumah neneknya dan perhatian neneknya juga selalu tercurahkan kepada mereka. Tentunya banyak kenangan yang mereka rasakan yang sayangnya karena keterbatasan waktu dan kesempatan tidak dapat diceritakan di sini.


Bag 3 : Putra putri mbah H Abdul Hadi-Hj Aminah


Mbah Abdul Hadi meninggal kira-kira tahun 1940-an (karena tidak ada informasi yang valid, dari keterangan cucunya diperkirakan meninggal antara 1940-1945). Sedangkan mbah Aminah meninggal sekitar tahun 1955. Beliau meninggalkan anak dan menantu yang kesemuanya tamat pendidikan pesantren. Karena penguasaannya atas ilmu-ilmu syari'at tersebut, banyak diantara putra dan menantu beliau diminta oleh lembaga-lembaga pendidikan Islam di berbagai daerah untuk berkhidmat di sana. Dan karena keilmuannya mereka menjadi kyai atau Ulama. Menantu tertua beliau, KH Ilyas dan anak ke-tiga, Kyai Subakir diminta oleh sebuah lembaga pendidikan Islam di Batu, Malang dan disana keduanya menjadi seorang kyai yang cukup disegani. Menantu ke dua beliau, yakni KH Muhtar AlHafidz, salah seorang pelopor
penghafal Qur'an di Kajen. Pernah mondok di Makkah selama 9 tahun bersama-sama dengan KH Hambali Waturoyo dan KH Suyuthi Guyangan Trangkil. Setelah itu beliau lanjutkan ke Termas, Magetan selama kurang lebih 2 tahun. Setelah kembali mendirikan pesantren Buludana yang sekarang oleh putranya KH Ma'mun Muhtar dinamai PP Mabda'ul Huda, Kajen.
Cerita tentang ke-hafidz-an beliau bermula ketika beliau hendak berangkat ke Makkah, beliau sowan kepada KH Abdussalam, ayahanda KH Abdullah Salam, untuk berpamitan dan mohon do'a restu. Setelah memberi restu KH Abdussalam memberi sedikit bekal kepada beliau sembari meminta suatu permintaan atau oleh-oleh (buah tangan), yakni apabila beliau pulang dari Makkah agar dibawakan Alqur'an. Dalam perjalanan pulang dari rumah KH Abdussalam beliau terus merenungi permintaan KH Abdussalam tersebut yang dirasa agak ganjil karena apabila yang dimaksud hanya sekedar mushaf Alqur'an tentunya disini banyak sekali. Hal tersebut terus beliau angankan sampai di Makkah dan berkesimpulan bahwa permintaan KH Abdussalam tersebut dimaksud bahwa permintaan Alqur'an tersebut adalah bahwa apabila pulang nanti beliau harus membawa Alqur'an yang tidak
kelihatan alias beliau harus menjadi seorang penghafal Qur'an (Hafidz).
Setelah sampai 7 tahun di Makkah terjadi huru hara akibat gerakan Wahabiyyah yang sedang berkuasa dan men-sweeping orang-orang salaf yang dianggap banyak melakukanbid'ah, termasuk ulama-ulama Jawa yang mondok di Makkah. Untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan, KH Hambali dan KH Suyuthi mengajak beliau pulang ke Jawa, akan tetapi beliau tidak bergeming dan menolak ajakannya. Karena beliau teringat amanat KH Abdusalam tersebut sehingga beliau tidak berani pulang sebelum menjadi penghafal Qur'an, apapun resiko yang dihadapi. Akhirnya setelah 9 tahun barulah beliau dapat mengkhatamkan Qur'an dan pulang dalam keadaan selamat.
Sedangkan putra mbah H Abdul Hadi dan mbah Hj Aminah yang ke-4, KH Muzayyin diangkat sebagai kyai dan na'ib di Gebog, Kudus. Disana beliau menjadi kyai yang disegani masyarakat. Putra beliau ke-5,  KH Muhammadun diambil mantu oleh KH Nawawi dan mendirikan pesantren APIK Kajen. Karena kealiman beliau dalam ilmu syari'at, beliau diangkat sebagai hakim agama di Pengadilan Agama Pati dan termasuk ulama Kajen yang disegani, bahkan KH Abdullah Salam meskipun sepantaran (se-
generasi) menganggap beliau adalah gurunya. Salah satu kejadian yang luar biasa terhadap beliau adalah ketika beliau meninggal sewaktu beliau menunaikan ibadah Haji sekitar tahun 1983, beliau dimakamkan di Kuburan Baqi', kuburan dimana Sahabat-Sahabat Nabi Muhammad SAW disemayamkan. Beliau dimakamkan diantara makam Sahabat Utsman bin Affan dan keluarga Nabi. Bagi kita tentunya sangatlah sulit mengalami kejadian seperti beliau, bahkan serasa tidak mungkin. Semoga Allah SWT meninggikan derajat beliau dan meridloi amal ibadah kita, amin.
Putri ke-6, Muslihatun dipersunting oleh Abu Railah, seorang santri dari desa Cebolek dan bermukim disana hingga meninggal dunia. Putra ke-7, KH Syairozie, seorang alim. Pada mulanya belia mengajar dan diangkat menjadi kepala sekolah Perguruan Islam Mathali'ul Falah, Kajen. Hal itu beliau lakukan selama kurang lebih 10 tahun, hingga suatu saat mertua beliau, yakni KH Hazbullah desa Kembang Dukuhseti (20 km arah utara dari Kajen) meminta beliau untuk turut mengembangkan pesantrennya di Kembang. Di sana beliau akhirnya menyetujui dan berkhidmat sampai meninggal. Putri ke-8, Hj Masy'amah, dipersunting oleh KH Isma'il, seorang santri  dan termasuk aghniya dari desa Kertomulyo (5 km sebelah selatan Kajen).
Putra ke-9, Kyai Ahmad Rifa'i mengabdikan dirinya sebagai pengajar di Perguruan Islam Mathali'ul Falah, Beliau mengajar full time, pagi dan sore. Selain itu beliau yang dipandang mewarisi jiwa wiraswasta mbah H Abdul Hadi. Banyak usaha yang pernah beliau lakukan, diantaranya membuat usaha produksi kecap, menjual kain, menjual tembakau dan lainnya. Pernah beliau patungan (syirkah) dengan Kyai Hasir (Pondok PRU) membuat usaha roti goreng, namun hal itu tidak berlangsung lama. Usaha yang paling maju dan berkembang sampai saat ini adalah usaha yang dirintis bersama istri beliau, Hj Zubaidah. Usaha tersebut memproduksi kain atau pakaian bordiran. Usaha tersebut berkembang cukup besar melihat jumlah mesin dan karyawannya yang cukup banyak. Permintaan dari berbagai daerahpun berdatangan, diantaranya Surabaya, Kudus, dan Semarang. Bahkan saat ini hasil produksinya dipasarkan di Pasar Tanah Abang, Jakarta.  
Putra ke-10, Mufarrihah di persunting oleh KH M Marhum, seorang hafidz Qur'an dari desa Jepat Lor Tayu dan bermukim disana sampai meninggal. Sedangkan putra beliau yang terakhir yakni Kyai Ahmad Yusa', diambil mantu oleh kepala desa

Sambilawang Trangkil (12 km arah selatan Kajen). Beliau bermukim disana dan menjadi kyai hingga akhir hayatnya.

Penutup


Sebenarnya masih banyak hal yang perlu digali mengenai cerita dan sejarah Mbah H Abdul Hadi, Hj Aminah dan para putra putri beliau. Namun, sebagaimana yang telah disinggung diatas, saat ini baru sedikit yang dapat tersusun dalam tulisan ini. Walaupun sedikit kami berharap semoga dapat dijadikan bahan renungan, mengapresiasikannya secara kritis untuk selanjutnya merefleksikan dan mengaktualisasikannya dalam konteks sekarang dalam bentuk amal sholeh .   
Akhirnya kita harus mensyukuri atas karunia Allah bahwa kita termasuk keturunan orang-orang yang Insya Allah selalu berjalan dalam aturanNya dan mendedikasikan segala potensi dalam dirinya untuk kepentingan dan pengembangan agama. Semoga apa yang beliau dan putra putrinya telah mereka lakukan sedikit banyak dapat menjadi kontribusi yang bermanfa'at terhadap pengembangan agama baik di lingkup desa Kajen maupun daerah daerah lainnya. Khususnya di desa Kajen, dimana anak, menantu dan cucu-cucu beliau memberikan andil yang besar terhadap pengembangan pendidikan Islam. Perannya yang beragam mulai dari pengasuh pesantren, ulama, pengajar serasa merupakan refleksi dan reaktualisasi atas apa yang mbah H Abdul Hadi dan mbah Hj Aminah lakukan. Maka, selanjutnya menjadi pertanyaan,  apakah hal tersebut dapat berkesinambungan pada generasi-generasi berikutnya. Tentunya jawaban itu kembali pada diri kita masing-masing,Wallahu A'lam.
Semoga apa yang telah diberikan oleh beliau, anak, menantu dan cucu-cucu beliau atas pengabdiannya dalam pengembangan pendidikan Islam mendapatkan ridlo Allah SWT dan termasuk golongan yang dipuji Allah sebagaimana firmannya dalam surat Ali Imron ayat 110 :
كُنْتمُ ْخَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّا ِس تَأْمُرُوْنَ بِالْمَعْرُوْفِ وَتَنهْوَنَ عَنِ اْلُمْنكَرِ (آل عمران – 110)
(Jadilah kamu sekalian sebaik-baik umat yang diciptakan Allah SWT untuk mengajak manusia berbuat kebajikan dan melarangnya melakukan kemungkaran)  

Post a Comment

Previous Post Next Post