Riwayat mbah Hj Aminah

Tidak banyak diketahui tentang riwayat mbah Aminah. Mungkin posisi mbah Aminah sebagai konco wingking (istri) yang peranannya lebih dominan pada sektor domestik sebagaimana kebanyakan yang terjadi pada keluarga masyarakat Jawa yang berbudayapatriarkial. Apalagi pada jaman kolonial Belanda, dimana saat itu posisi perempuan benar-benar  ter-subordinat. Kesempatan belajar atau sekolah sangat kecil. Bangku sekolah hanya untuk kaum lelaki, orang kaya atau golongan ningrat. Kondisi demikian mengakibatkan kebanyakan perempuan buta huruf. Mbah Aminah sendiri hanya berkesempatan belajar kepada orang tuanya sendiri. Menurut silsilah yang dibuat oleh Syaifuddin Zuhri mbah Aminah adalah putri dari mbah Abdul Qodir dan mbah Mukirah. Tidak banyak yang diketahui tentang mbah Abdul Qodir, hanya saja beliau adalah seorang sholih yang sederhana. Beliau
orang Kajen. Menurut riwayat beliau seorang guru mengaji. Putra mbah Abdul Hadi yang pernah mengaji kepada beliau adalah mbah Muzayyin. Setelah khatam kemudian melanjutkan ke mbah KH Salam, pondok Pol Garut. Sedangkan mbah Mukirah adalah anak dari pak Samsur dimana beliau dengan mbah Abdul Hadi (orang tua Kertonadi) adalah saudara sepupu karena ibunya mbah Abdul Hadi, yaitu Sawijah dengan ibunya pak Samsur adalah saudara. Keduanya anak dari Muniroh dan Mad Anom. Mad Anom sendiri merupakan cucu (ibu Thoyyibah) dari mbah Hendro Muhammad putra KH Ahmad Mutamakkin dengan Nyai Brengos (Sholihah).
Mbah Aminah adalah seorang gadis sederhana. Berperawakan ramping, agak tinggi menurut ukuran kebanyakan wanita Jawa dan berkulit bersih. Beliau dinikahkan dengan mbah Abdul Hadi dalam usia yang masih tergolong cukup muda. KH Abdullah yang menjodohkan beliau dengan mbah Abdul Hadi (Kertonadi). Beliau bukan pribadi yang banyak bicara (cerewet), bahkan raut mukanya cenderung selalu tampak serius. Bicaranyapun tampak selalu serius. Namun meski begitu beliau sangat sayang dan perhatian (gumati) terhadap anak dan cucunya. Pribadi yang menonjol pada mbah Aminah adalah meski beliau hanya seorang perempuan namun beliau tidak mau hanya pasif
tanpa melakukan kegiatan apa-apa.  Setelah mbah Abdul Hadi meninggal, sekitar tahun 1940-an, kegiatan mbah Aminah adalah menjual hasil tanaman pekarangan ke pasar Bulumanis. Mulai dari kelapa, buah dan lain-lain. Namun yang menjadi dagangan utama adalah kembang gading (cempaka putih) yang selalu rutin beliau setorkan ke pasar. Di belakang rumah beliau ada pohon gading yang sangat besar yang senantiasa berbunga sepanjang tahun. Di pasaran harga kembang gading cukup mahal, maka, setiap hari mbah Sa' yang bertugas memetik kembang gading tersebut. Kalau mbah Sa' sedang tidak ada (udzur), maka cucunya yang bernama Mahfudz, anak dari mbah Thohiroh yang menggantikan mbah Sa' memetik kembang gading. Mahfudz dapat upah memetik kembang gading tersebut, sehingga diantara cucunya, Mahfudz yang paling banyak uang.
Karena mbah Aminah punya beberapa pedagang (bakul) yang sudah mapan, maka, setiap hari beliau menyetorkan kembang gading tersebut. Setelah itu biasanya beliau berbelanja untuk keperluan dapur. Apabila pulang, beliau tidak pernah lupa membeli oleh-oleh jajan pasar yang selalu  ditunggu cucu-cucunya di rumah. Sesampai di depan rumah biasanya cucu-cucunya sudah menghadang dan sontak berhamburan ketika melihat sosok mbah
Aminah muncul dengan belanjaan dan oleh-oleh yang bergelantungan diantara tubuh beliau. Cucu-cucunya yang senantiasa merasakan oleh-oleh mbah Aminah diantaranya Munawaroh, Malihatin, Sholihah, Maryam, Ma'mun Muzayyin, Abdul Mu'id, Abdul Bari, Mahfudz, dan lain-lain.
Diantara cucu-cucunya, yang paling dekat dengan beliau adalah Ma'mun Muzayyin, Mahfudz, Abdul Bari dan Maryam. Mereka sering mendapatkan curahan perhatian dan kasih sayang dari beliau. Mungkin karena mereka lahir lebih dahulu daripada cucu-cucu beliau yang lain dan juga tempat tinggal mereka yang berdekatan dengan rumah beliau sehingga hampir setiap hari mereka selalu datang ke rumah neneknya dan perhatian neneknya juga selalu tercurahkan kepada mereka. Tentunya banyak kenangan yang mereka rasakan yang sayangnya karena keterbatasan waktu dan kesempatan tidak dapat diceritakan di sini.


Bag 3 : Putra putri mbah H Abdul Hadi-Hj Aminah


Mbah Abdul Hadi meninggal kira-kira tahun 1940-an (karena tidak ada informasi yang valid, dari keterangan cucunya diperkirakan meninggal antara 1940-1945). Sedangkan mbah Aminah meninggal sekitar tahun 1955. Beliau meninggalkan anak dan menantu yang kesemuanya tamat pendidikan pesantren. Karena penguasaannya atas ilmu-ilmu syari'at tersebut, banyak diantara putra dan menantu beliau diminta oleh lembaga-lembaga pendidikan Islam di berbagai daerah untuk berkhidmat di sana. Dan karena keilmuannya mereka menjadi kyai atau Ulama. Menantu tertua beliau, KH Ilyas dan anak ke-tiga, Kyai Subakir diminta oleh sebuah lembaga pendidikan Islam di Batu, Malang dan disana keduanya menjadi seorang kyai yang cukup disegani. Menantu ke dua beliau, yakni KH Muhtar AlHafidz, salah seorang pelopor
penghafal Qur'an di Kajen. Pernah mondok di Makkah selama 9 tahun bersama-sama dengan KH Hambali Waturoyo dan KH Suyuthi Guyangan Trangkil. Setelah itu beliau lanjutkan ke Termas, Magetan selama kurang lebih 2 tahun. Setelah kembali mendirikan pesantren Buludana yang sekarang oleh putranya KH Ma'mun Muhtar dinamai PP Mabda'ul Huda, Kajen.
Cerita tentang ke-hafidz-an beliau bermula ketika beliau hendak berangkat ke Makkah, beliau sowan kepada KH Abdussalam, ayahanda KH Abdullah Salam, untuk berpamitan dan mohon do'a restu. Setelah memberi restu KH Abdussalam memberi sedikit bekal kepada beliau sembari meminta suatu permintaan atau oleh-oleh (buah tangan), yakni apabila beliau pulang dari Makkah agar dibawakan Alqur'an. Dalam perjalanan pulang dari rumah KH Abdussalam beliau terus merenungi permintaan KH Abdussalam tersebut yang dirasa agak ganjil karena apabila yang dimaksud hanya sekedar mushaf Alqur'an tentunya disini banyak sekali. Hal tersebut terus beliau angankan sampai di Makkah dan berkesimpulan bahwa permintaan KH Abdussalam tersebut dimaksud bahwa permintaan Alqur'an tersebut adalah bahwa apabila pulang nanti beliau harus membawa Alqur'an yang tidak
kelihatan alias beliau harus menjadi seorang penghafal Qur'an (Hafidz).
Setelah sampai 7 tahun di Makkah terjadi huru hara akibat gerakan Wahabiyyah yang sedang berkuasa dan men-sweeping orang-orang salaf yang dianggap banyak melakukanbid'ah, termasuk ulama-ulama Jawa yang mondok di Makkah. Untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan, KH Hambali dan KH Suyuthi mengajak beliau pulang ke Jawa, akan tetapi beliau tidak bergeming dan menolak ajakannya. Karena beliau teringat amanat KH Abdusalam tersebut sehingga beliau tidak berani pulang sebelum menjadi penghafal Qur'an, apapun resiko yang dihadapi. Akhirnya setelah 9 tahun barulah beliau dapat mengkhatamkan Qur'an dan pulang dalam keadaan selamat.
Sedangkan putra mbah H Abdul Hadi dan mbah Hj Aminah yang ke-4, KH Muzayyin diangkat sebagai kyai dan na'ib di Gebog, Kudus. Disana beliau menjadi kyai yang disegani masyarakat. Putra beliau ke-5,  KH Muhammadun diambil mantu oleh KH Nawawi dan mendirikan pesantren APIK Kajen. Karena kealiman beliau dalam ilmu syari'at, beliau diangkat sebagai hakim agama di Pengadilan Agama Pati dan termasuk ulama Kajen yang disegani, bahkan KH Abdullah Salam meskipun sepantaran (se-
generasi) menganggap beliau adalah gurunya. Salah satu kejadian yang luar biasa terhadap beliau adalah ketika beliau meninggal sewaktu beliau menunaikan ibadah Haji sekitar tahun 1983, beliau dimakamkan di Kuburan Baqi', kuburan dimana Sahabat-Sahabat Nabi Muhammad SAW disemayamkan. Beliau dimakamkan diantara makam Sahabat Umar bin Khattab dan keluarga Nabi. Bagi kita tentunya sangatlah sulit mengalami kejadian seperti beliau, bahkan serasa tidak mungkin. Semoga Allah SWT meninggikan derajat beliau dan meridloi amal ibadah kita, amin.
Putri ke-6, Muslihatun dipersunting oleh Abu Railah, seorang santri dari desa Cebolek dan bermukim disana hingga meninggal dunia. Putra ke-7, KH Syairozie, seorang alim. Pada mulanya belia mengajar dan diangkat menjadi kepala sekolah Perguruan Islam Mathali'ul Falah, Kajen. Hal itu beliau lakukan selama kurang lebih 10 tahun, hingga suatu saat mertua beliau, yakni KH Hazbullah desa Kembang Dukuhseti (20 km arah utara dari Kajen) meminta beliau untuk turut mengembangkan pesantrennya di Kembang. Di sana beliau akhirnya menyetujui dan berkhidmat sampai meninggal. Putri ke-8, Hj Masy'amah, dipersunting oleh KH Isma'il, seorang santri  dan termasuk aghniya dari desa Kertomulyo (5 km sebelah selatan Kajen).
Putra ke-9, Kyai Ahmad Rifa'i mengabdikan dirinya sebagai pengajar di Perguruan Islam Mathali'ul Falah, Beliau mengajar full time, pagi dan sore. Selain itu beliau yang dipandang mewarisi jiwa wiraswasta mbah H Abdul Hadi. Banyak usaha yang pernah beliau lakukan, diantaranya membuat usaha produksi kecap, menjual kain, menjual tembakau dan lainnya. Pernah beliau patungan (syirkah) dengan Kyai Hasir (Pondok PRU) membuat usaha roti goreng, namun hal itu tidak berlangsung lama. Usaha yang paling maju dan berkembang sampai saat ini adalah usaha yang dirintis bersama istri beliau, Hj Zubaidah. Usaha tersebut memproduksi kain atau pakaian bordiran. Usaha tersebut berkembang cukup besar melihat jumlah mesin dan karyawannya yang cukup banyak. Permintaan dari berbagai daerahpun berdatangan, diantaranya Surabaya, Kudus, dan Semarang. Bahkan saat ini hasil produksinya dipasarkan di Pasar Tanah Abang, Jakarta.  
Putra ke-10, Mufarrihah di persunting oleh KH M Marhum, seorang hafidz Qur'an dari desa Jepat Lor Tayu dan bermukim disana sampai meninggal. Sedangkan putra beliau yang terakhir yakni Kyai Ahmad Yusa', diambil mantu oleh kepala desa

Sambilawang Trangkil (12 km arah selatan Kajen). Beliau bermukim disana dan menjadi kyai hingga akhir hayatnya.
Previous Post Next Post